Sesungguhnya sangat jarang anak- anak yang tengah belajar musik merasakan kegembiraan yang begitu menggelora sehingga senang melakukan latihan dan mampu bertahan selama berjam-jam di depan piano ataupun dengan alat musik yang lain.
Kalaupun itu terjadi, biasanya hanya berupa kegembiraan sesaat pada fase-fase awal mereka diperkenalkan musik. Setelah itu mereka kembali ke fase kanak-kanak sebagaimana umumnya, susah berkonsentrasi terlalu lama.
Tidak ada satu pun anak di seluruh dunia ini yang menyukai berlama-lama latihan. Sebagian besar mereka justru membenci latihan dan kalau bisa menghindarinya. Di sisi lain, sebagian besar orangtua berharap anak-anak mereka mau latihan, bahkan kalau perlu atas inisiatif mereka sendiri tanpa harus diingatkan setiap saat.
Jelas ini merupakan sebuah kontradiksi yang tak jarang menjadi persoalan dan menimbulkan ketegangan antara anak dan orangtuanya. Diperlukan kehati-hatian agar anak-anak memiliki motivasi untuk berlatih secara mandiri.
Pertanyaannya adalah, mengapa anak-anak sulit dan tidak menyukai latihan? Jawabannya sangat kompleks. Mungkin bisa jadi berawal dari cara guru dalam mengajarnya. Sebab di antara beberapa metoda pendekatan pengajaran bermain musik, khususnya piano, pendekatan yang tidak disukai anak-anak adalah mengulang-ulang lagu pendek dengan menggunakan satu tangan secara berulang-ulang, bahkan mungkin sampai ratusan kali.
“Saya sendiri mengalami dan merasakan bagaimana malasnya kalau disuruh latihan,” kata Haruko Kataoka dalam salah tulisannya di Suzuki News Letter. Saat masih belajar piano di usia belia, guru besar piano di sistem pendidikan Suzuki ini mengaku mengalami apa yang menjadi kecenderungan anak-anak ketika diminta latihan. Dia juga memainkan repertori dengan dua tangan secara berulang-ulang. Lebih-lebih jika itu lagu baru.
Mungkin lantaran gurunya saat itu tidak dapat menunjukkan bagaimana cara berlatih yang tepat, Kataoka pun mencoba memainkannya hanya beberapa bagian saja dari repertori itu, dan ia pun seperti lazimnya anak-anak lain, tidak dapat berkonsentrasi terlalu lama.
Tetapi paling tidak ketika ia mencoba memainkan dengan kedua tangannya, tidak peduli apakah permainannya baik atau mungkin buruk, seseorang dapat merasakan sensasi dan menikmati harmoni musik yang indah dari lagu yang ia mainkan. Ini membedakan dibanding jika seorang anak harus mengulang-ulang secara monoton lagu yang itu-itu saja ratusan kali. Inilah penyebab mengapa anak-anak lebih banyak membenci latihan. Padahal sesungguhnya mereka sangat menyukai musik.
Peduli dan Sibuk
Manusia memiliki otak kiri untuk pengetahuan dan otak kanan untuk perasaan. Dewasa ini informasi-informasi baru yang tak terbatas dalam kehidupan kita sehari-hari memudahkan kita memperoleh kebutuhan akan informasi dan pengetahuan tanpa harus bersusah payah. Sementara otak kanan, karena tubuh kita harus belajar dengan perasaan, kita memerlukan pengulangan-pengulangan dan latihan agar memperoleh kepandaian yang diharapkan.
Dalam pendidikan musik, menunggu hingga seorang anak berusia enam tahun adalah terlambat. Pendidikan anak bahkan sebaiknya sudah dimulai ketika anak masih dalam kandungan ibunya. Karena itu, ketika seorang anak mulai belajar musik, dia harus membuat sebuah kebiasaan melakukan latihan tidak menyenangkan bagi dirinya sedikit demi sedikit sejak awal.
Sepanjang kariernya sebagai pengajar, Kataoka menyaksikan begitu banyak anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dalam lingkungan keluarga dan cara pengasuhan orangtuanya. Paling tidak menurut pengamatannya, dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah para orangtua yang memiliki kepedulian tinggi terhadap setiap jengkal perkembangan anaknya. Ia memantau, mengikuti dan mengawasi latihan buah hatinya. Mereka juga mengerti apa yang diajarkan sang guru pada buah hatinya di setiap sesi pertemuan. Mereka berusaha membuat anak-anaknya berlatih setiap hari.
Mereka juga mengikuti instruksi-instruksi guru dan menerapkannya dengan sabar. Anak-anak dengan orangtua seperti ini sangat beruntung. Sebab, anak kecil sebenarnya belum memiliki pemahaman untuk memilih dan memerlukan waktu untuk mengetahui apakah ini baik atau buruk bagi dirinya. Dengan alasan itulah mereka membutuhkan peran dan kehadiran orang dewasa, yaitu orangtuanya yang telah memiliki pemahaman untuk memilih cara yang paling baik.
Tetapi anak-anak yang cenderung terlalu patuh dan taat pada awalnya, mulai memperlihatkan sikap membangkang ketika mereka bertambah usianya. Saat lulus SD atau mulai masuk SMP, mereka mulai menolak bantuan orangtuanya setiapkali latihan. Anak-anak yang sudah beranjak remaja itu tidak akan terlalu banyak mendengarkan orangtuanya lagi, dan menolak berlama-lama latihan.
Bagaimanapun, dengan pendekatan yang menarik mereka tidak akan berpikir untuk berhenti belajar musik karena melalui itulah mereka menyukai musik. Bila ini terjadi, seorang guru harus mulai memahami situasi yang dihadapi siswa dan tetaplah memberi pelajaran dengan gaya yang santai tetapi tetap serius, tidak peduli seberapa banyak mereka menghabiskan waktunya untuk latihan.
“Pada saat inilah guru maupun orang tua harus memiliki kesabaran,” kata Kataoka. Jika kita dengan tekun dan sabar mengikuti setiap perkem bangan anak, lanjutnya, akan tumbuh kesadaran dari diri dalam mereka sendiri, sebagaimana mereka menempuh pelajaran formal seperti di sekolah maupun di akademi. Bila seorang anak telah memiliki dasar yang kuat, dia akan dapat memainkan karya-karya sulit dengan mudah, sekalipun mungkin mereka tidak belajar pada waktu tetentu.
Kelompok kedua adalah anak-anak yang memiliki orangtua yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, yang tidak memiliki waktu untuk mengawasi buah hatinya berlatih musik. Mereka tidak peduli pada proses belajar anaknya, kecuali hanya mementingkan hasilnya.
Dalam situasi anak seperti itu, seorang guru pun harus sabar dan tidak perlu tergesa-gesa. Tidak mengapa jika si anak didiknya tidak kunjung cepat memperlihatkan kemajuan atau perkembangannya. Besarkan hatinya bahwa saatnya akan tiba, dan berilah sebuah kebiasaan kepada anak-anak untuk berlatih musik bahkan jika orang tua mereka tidak ada di rumah.
Usahakan agar anak selalu mendengar dan menghafal lagu. Berilah kesempatan pada mereka untuk tampil dalam sebuah pertunjukkan. Dalam beberapa alasan, mereka mungkin lebih menyukai pentas daripada latihan terus menerus tanpa ada
kesempatan tampil dalam sebuah acara. Karena pada dasarnya anak-anak akan merasa bangga bila mereka bisa tampil bagus di hadapan banyak orang.
Meski mereka berasal dari lingkungan rumah yang berbeda, pada dasarnya anak-anak tumbuh dan mengenal musik. Pada saat yang sama mereka mengembangkan kesabaran, berusaha dan berkonsentrasi melalui latihan-latihan mereka yang tidak menyenangkan. Latihan adalah sesuatu yang menyiksa. Maka wajar bila anak-anak membencinya.
“Meskipun demikian, adalah tugas orang-orang dewasalah yang harus membuat anak-anak kita mengerjakan latihan yang tidak disukai itu dengan penuh kasih sayang dan kesabaran untuk membesarkan mereka menjadi seorang manusia dewasa yang baik,” kata Kataoka.
Ambil Inisiatif
Karena pada dasarnya setiap anak cenderung menghindari latihan, sebagai orangtua harus mengambil inisiatif. Di sinilah letak tantangan orangtua menghadapi situasi semacam ini.
“Satu hal yang sering dilakukan dan terbukti cukup efektif adalah membuat perjanjian antara orangtua dan anak untuk mendorong anak melanjutkan pelajaran-pelajaran musiknya,” kata Haruko Kataoka.
Misalnya, lanjut Haruko, dengan memberi hadiah atau bentuk-bentuk penghargaan lainnya. Rangsangan semacam ini biasanya disebut dengan “positive reinforcement”. Atau bisa diartikan dengan teknik “menyuap”, tentu saja dalam pengertian positif. Bentuk-bentuk pemberian penghargaan atau hadiah seperti itu tidak selalu berbentuk materi, seperti uang atau barang.
Sebagai contoh, sebuah ‘kontrak’ kesepakatan mungkin bisa dilakukan agar mereka tetap mau belajar serius. Misalnya, kesepakatan perjanjian selama tiga tahun. Dengan cara yang sama, Anda bisa memberikan hadiah itu, seperti dengan mengajak mereka refreshing, berpartisipasi dalam sebuah konser atau resital, kompetisi, terlepas dari apakah mereka akan menang atau kalah dalam ajang tersebut.
Kebanyakan guru juga akan membantu proses tersebut dengan memberi penghargaan dan hadiah kepada siswanya dengan sesuatu yang special. Beberapa guru akan mengajak siswa dan orang tuanya makan malam setelah konser untuk merayakan partisipasinya. Penghargaan lainnya dapat berupa membuat T-shirt ketika sekelompok siswanya melakukan perjalanan dalam rangka mengikuti konser di luar kota atau luar negeri.
Guru pun akan membantu dengan cara memberikan repertori-repertori yang bisa merangsang ketertarikan anak belajar piano ketika ia terserang kejenuhan. Komposisi Gershwin dan Chopin mungkin akan lebih menarik minat anak-anak, daripada karya-karya Bach atau Beethoven. Karya-karya Gershwin dan Chopin secara musical dan edukasional lebih dapat diterima di telinga anak-anak.
Karena perkembangan sosial dan daya serap anak-anak sangat penting selama mereka berada dikisaran usia dibawah 10 tahun, tanyakan kepada guru untuk mencoba merancang sebuah kesempatan bermain dalam chamber music, duet, trio, kuartet dan sebagainya atau aktifitas musik secara kelompok lainnya yang menekankan pada latihan memainkan musik-musik klasik.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan untuk menemukan cara bagaimana membuat pengalaman bermusik begitu menggembirakan, menyenangkan dan selalu baru. Bagaimanapun bentuk pemberian penghargaan dan hadiah yang Anda pilih, jelaskan dan tegaskan kepada buah hati Anda bahwa ini harus menjadi sebuah perjanjian saling percaya antara Anda sebagai orang tua dengan putra atau putri Anda.
Latihan dan kehadiran secara pada saat pelajaran adalah hal-hal kecil yang sangat penting untuk memperhatikan kesungguhan Anda atas ‘kontrak’ yang telah dibuat dengan anak Anda. Dengan kata lain, Anda juga harus bisa menunjukkan keseriusan dan kesungguhan bahwa Anda ingin agar buah hati Anda tetap tertarikuntuk belajar musik.
Karena itu begitu Anda melakukan kontrak, jagalah kepercayaan tersebut. Jangan sekali-kali Anda melakukan hal-hal yang membuat anak kehilangan kepercayaannya karena akan menjadi sesuatu yang buruk bagi masa depan mereka.
Sebab mereka akan kehilangan respek pada orang tuanya.
Langkah-langkah seperti ini tidak hanya membantu selama proses belajar musik tetapi juga turut membantu karakter dan membentuk rasa tanggung jawab dalam diri mereka yang bermanfaat bagi masadepan mereka kelak.
Tetapi bagaimana jika orangtua telah berusaha keras melakukan hal-hal terbaik, ternyata mereka masih saja menolak untuk bekerja sama?
Haruskah kita tetap memaksakan pada buah hati kita untuk tetap bertahan belajar bermain musik? Ketika menghadapi ini, yang harus kita pahami lebih dahulu bahwa setiap situasi adalah individual. Bagaimanapun, dalam kondisi seperti ini, banyak-banyaklah berkonsultasi secara baik-baik dengan guru.
Guru mungkin akan membantu dengan memberikan perubahan-perubahan untuk membangun kembali ketertarikan anak belajar musik. Misalnya, dengan mengganti repertori-repertorinya, memanfaatkan komputer dalam proses belajar mengajar, merancang kembali kesempatan siswanya untuk bermain musik secara kelompok dengan teman-teman sebayanya, atau mungkin intensif-intensif lainnya tergantung guru mengenal buah hati Anda.
Memperbolehkan anak untuk menghindari pelajaran biasanya bukan cara yang yang baik untuk menangani anak-anak yang tidak koperatif. Akhirnya, sebagai orangtua hendaknya tetap bertahan seberat apapun kondisi yang dihadapinya. Jika Anda melihat belajar musik sebagai sebuah sudut pandang investasi, maka jagalah agar investasi tersebut tidak sia-sia. (dini)