SEBERAPAPUN pentingnya belajar musik, tetap saja kegiatan ini menjadi sub-ordinat dari kegiatan yang lebih penting, yakni sekolah umum. Ini berarti, prioritas orangtua siswa dan juga siswa tetap saja terletak pada komitmennya untuk lebih mementingkan sekolah umum, daripada les piano atau alat musik lainnya.
Tak mengherankan bila sering terjadi fenomena unik: pada saat ujian sekolah umum tiba, jumlah siswa les piano, biola, atau alat musik lainnya, turun. Para orangtua lebih mementingkan pelajaran sekolah daripada les musik, dengan menghentikan sementara, atau cuti les, agar anak-anaknya bisa berkonsentrasi ke pelajaran sekolahnya.
Masih untung bila selama “masa istirahat” itu siswa tetap berlatih di rumah, sehingga dengan demikian mereka tetap berada pada performa yang stabil. Tetapi kenyataanya, lebih banyak siswa yang meninggalkan alat musiknya ketika mereka sibuk menghadapi ujian sekolah. Tingkat persaingan yang tinggi di sekolah umum, menyebabkan banyak orang tua lebih mementingkan prestasi sekolah daripada les musik.
Akibatnya, ketika kemudian mereka masuk les kembali, mereka tidak dalam performa yang sama sebagaimana sebelum mereka mengambil cuti untuk menghadapi ujian sekolah. Jelas, hal ini menjadi beban tersendiri bagi guru, karena mereka harus mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan sebelumnya. Padahal, belajar musik adalah sesuatu yang “in learning process”. Sesuatu yang harus terus berjalan. Sekali berhenti, maka sulit untuk mengembalikan performa ke level semula. Inilah salah satu alasan kenapa latihan adalah sesuatu yang harus dibiasakan bagi mereka yang belajar musik. Bukan sekadar kewajiban.
Pandangan yang meletakkan belajar musik belum menjadi sesuatu yang penting dan menjadi prioritas itulah, yang seringkali menyebabkan tidak selalu les musik berjalan sesuai jadwal. Betapapun, les musik sering dikorbankan untuk kegiatan lain. Hanya sedikit yang memiliki komitmen tinggi untuk selalu on time dan on schedule, tergantung apa motivasinya. Sebagian besar, cenderung lebih mudah meninggalkan les musik untuk kegiatan lain yang dianggap lebih penting.
Kondisi seperti itu tentu menyusahkan guru untuk membuat jadwal yang tetap. Bagaimanapun, seorang guru selalu memiliki action plan dalam kebijakan pengajarannya. Mereka membuat langkah-langkah, target-target, dan menyiapkan bahan pelajaran sesuai rentang waktu tertentu, dengan sekian kali pertemuan. Misalnya, dalam satu semester, apa yang harus dicapai dan bagaimana cara mencapainya. Kemudian dalam satu tahun bagaimana, dan sebagainya.
Guru-guru yang professional, memiliki action plan yang jelas dan terukur. Jika tidak, bukan saja arah pengajaran menjadi tidak jelas, tetapi juga menyengsarakan guru sendiri karena mereka tidak punya rencana yang jelas, tujuan yang ingin dicapai, dan bagaimana melaksanakannya. Bila dalam rentang waktu tertentu yang telah ditetapkan itu ada jam-jam pelajaran yang hilang, karena siswa absen, atau guru berhalangan, dan berbagai sebab lain, tentu akan mempengaruhi semua action plan yang telah dibuat. Kebanyakan guru berusaha mengganti jam-jam pelajaran yang hilang itu di hari lain atau jam lain, meskipun hal itu tetap menjadi beban guru.
Bila hilangnya jam pelajaran itu diakibatkan guru, maka secara professional guru harus menggantinya. Tetapi yang sering terjadi adalah, jam-jam pelajaranr, jam-jam pelajaran yang hilang itu karena siswa lalai, yang menyebabkan ia tidak mengikuti les atau dan absen. Kadang hal itu tanpa pemberitahuan dan alasan jelas. Tiba-tiba saja pada jam lesnya, mereka baru memberitahu tidak bisa datang, sementara guru telah siap di kelas. Lebih buruk lagi kalau sama sekali tidak ada pemberitahuan.
Pengalaman banyak guru, kadang-kadang orangtua siswa dengan entengnya mengatakaan dari seberang telepon bahwa anaknya hari ini tidak bisa les karena harus mengikuti kegiatan lain, sementara guru telah siap di kelas, dan mereka meminta untuk diganti ke hari dan jam lain. Sebagai profesional, guru kadang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dalam situasi seperti itu. Beberapa guru mungkin dengan tenang bisa mengganti di hari dan jam yang lain, tetapi beberapa guru mungkin mengatakan “tidak”, dan tak akan mengganti les yang hilang itu di hari atau jam lain karena mereka menganggap itu bukan kesalahannya, dan siswa harus menanggung risikonya.
Yang rumit lagi, tak jarang orangtua siswa memperhitungkan kondisi seperti itu dengan uang pembayaran. Seringkali guru menghadapi orangtua siswa yang terlalu hipokrit. Mereka keberatan jam pelajaran anaknya hilang atau diganti di hari lain, dan sebaliknya meminta guru mengembalikan uang les atau memberikan potongan pembayaran. Bagaimana mungkin?
Aturan Tegas
Belajar dari pengalaman banyak guru, disarankan agar guru atau penyelenggara les musik membuat aturan yang tegas tetapi bijaksana dalam menghadapi problem hilangnya jam pelajaran itu. Dalam menghadapi jam pelajaran yang hilang itu, kemungkinannya adalah bahwa, bagaimanapun Anda mengatasi hal itu, sebagai guru pasti tidak akan senang dengan kondisi seperti itu, karena situasi menjadi berbeda dan berubah banyak.
Bagaimanapun Anda dapat mengambil langkah rasional mengurangi kemungkinan siswa absen atau melalaikan pelajaran, yang berakibat hilangnya waktu serta pendapatan guru. Langkah pertama adalah, intropeksi dan melihat sebab-sebab siswa berhalangan atau absen.
Hilangnya jam pelajaraan itu bisa merupakan akibat kebijakan keuangan atau pembayaran guru. Misalnya, bila guru adalah orang yang menerima pembayaran langsung pada setiap pelajaran, berarti memberi kemungkinan siswa-siswanya absen, karena guru tidak akan bisa mengontrolnya. Dalam situasi itu, orangtua siswa dan siswa tidak punya motivasi apapun untuk mengikuti komitmen pelajaran atau bahkan untuk memberi tahu Anda, apakah akan les atau tidak. Barangkali hal terbaik adalah, meminta klien membayar di muka.
Guru memiliki pengaman yang bisa mengurangi risiko siswa absen bila guru memberi insentif finansial. Misalnya potongan pembayaran penuh di muka untuk termin tertentu, misalnya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali, atau 12 sekali, dan sebagainya. Anda juga bisa meminta klien membayar dimuka untuk 12 kali pertemuan, atau sekian pelajaran pada termin tertentu, daripada langsung satu tahun. Cara ini disebut “pembayaran berdasarkan level”. Artinya, pembayaran bukan saja ditentukan oleh waktu belajar, tetapi juga oleh level/grade siswa.
Beberapa guru membuat aturan tegas dalam kasus hilangnya jam pelajaran, terutama bila itu oleh ketidakhadiran siswa. Misalnya, tidak ada pengembalian uang les, dan tidak ada penggantian jadwal les. Bila Anda tipe guru yang demikian, beban menjadi lebih ringan dan tidak memberikan financial impact ataupun waktu yang terbuang sia-sia. Selain itu siswa “dipaksa” untuk hadir kalau tidak ingin rugi. Tapi bagaimana bila ketidakhadiran siswa itu karena siswa sakit misalnya, terutama anak-anak? Apakah dalam hal ini guru cukup mengatakan “tidak”?
Jika guru menerapkan kebijakan itu, boleh jadi siswa yang sakit itu akan tetap masuk les sekalipun kondisi tubuhnya tidak memungkinkan. Sementara di sisi lain, Anda juga tidak mengharapkan siswa lainya, atau bahkan Anda sendiri tertulari penyaki, penyebaran bakteri, atau virus lebih daripada mengobatinya.Lagipula, seseorang yang dalam kondisi sakit tidak akan bisa menerima pelajaran, atau bekerja dengan maksimal.
Karena itulah, orang-orang yang sakit disarankan untuk istirahat di rumah sampai kondisi tubuh kembali sehat. Untuk alasan itulah, mungkin tidak bisa mengatakan “tidak” bagi siswa yang berhalangan hadir di kelas karena sakit. “Jadi, solusi terbaik adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk tidak hadir dulu di kelas, beristirahat dirumah sampai sehat kembali. Sebuah aturan tegas “tidak ada penggantian”, barangkali bisa dikompromikan bila itu menyangkut kesehatan.
Bagaimana bila jam pelajaran yang hilang itu adalah guru penyebabnya? Sebaiknya dipikirkan kemungkinan bahwa suatu saat guru bisa saja sakit, atau terpaksa tidak bisa mengajar karena alasan lain yang lebih mendesak. Bila Anda memiliki aturan “tidak ada penggantian” dalam kondisi seperti itu, Anda mesti hati-hati karena Anda hanya memiliki sedikit pembenaran bagi alasan untuk tidak memberikan pelajaran. Artinya, kalau memaksa siswa untuk selalu hadir akibat aturan itu, Anda juga dipaksa harus selalu siap mengajar.
Tentu saja, Anda bisa menggunakan aturan yang berlawanan dari itu, misalnya dengan mengganti semua jam pelajaran yang hilang yang disebabkan oleh Anda, karena berbagai alasan. Sebaiknya hal itu tidak dilakukan. Bila Anda melakukan, Anda akan menemukan bahwa klien Anda akan menuntut hal yang sama, dan bahkan mereka berharap Anda akan mengganti kapan saja jam pelajaran anaknya yang hilang. Dan dalam jangka panjang, klien Anda akan menyetir kehidupan Anda akibat inkonsistensi Anda.
Aturan tegas “tidak ada penggantian” mungkin terasa sedikit kejam, karena selalu ada alasan untuk tidak bisa mengikuti les, terutama bila itu berkaitan dengan kesehatan. Tetapi pada prinsipnya, guru bisa mengatasi itu dengan memberikan beberapa pengecualian, dan ini harus diinformasikan kepada orangtua dan siswa. Yang penting, guru harus bisa menampilkan dirinya sebagai seorang professional dan konsisten.
Sekalipun guru terpaksa harus memberikan “pelajaran pengganti” dikarenakan alasan kesehatan atau hal lain yang tidak bia dihindari sehingga siswa maupun guru tidak bisa belajar dan mengajar pada jadwal seharusnya, profesionalisme dan konsistensi harus ditunjukkan guru dalam hal ini, supaya tidak ada kesan bahwa aturan tegas itu pada akhirnya bisa dilanggar.Salah satu caranya adalah, apabila guru terpaksa memberi “pelajaran pengganti”, guru sendirilah yang harus menentukan jam dan harinya. Dalam hal ini gurulah yang mengontrolnya.
Mungkin saja guru akan kehilangan beberapa siswa karena ketegasan itu, tetapi guru akan mendapat beberapa penggantinya dari orang-orang yang respek kepada sikap tegas dan pembatasan bagi diri guru sendiri dan orang lain. Satu hal yang pasti adalah, bila guru melakukan sesuatu hal yang tidak ingin lakukan dan tidak dapat dibenarkan oleh diri sendiri, tentu saja Anda tidak dapat membelanya untuk orang lain. Berikan “pelajaran pengganti” itu sesuai dengan waktu dimana Anda bisa mengajar.
Bila klien Anda tidak bisa mengikuti waktu yang telah ditentukan, maka ia akan kehilangan jam pelajaran lagi, dan itu menunjukan tidak adanya komitmen pada kebijakan Anda. Dalam hal ini Anda dapat menghentikan pelajaran. Poin pentingnya adalah, letakan beban dan tanggungjawab kepada klien Anda untuk memecahkan masalah yang mereka buat.
Mengganti pelajaran yang hilang adalah sebuah kehormatan bagi siswa, bukan sebuah hak. Pastikan klien Anda memahami kenyataan ini. Bila Anda bisa meyakinkan ini, maka pelajaran pengganti akan berangsung tanpa kejengkelan, gangguan dan penyalahgunaan. (M.Ziegler, eds)