Nial Djuliarso

692

Article Top Ad

 

Meraih 15 penghargaan dari berbagai kompetisi jazz di Amerika dan Eropa, tampil di berbagi gedung dan panggung konser bersama musisi terkenal di dunia, mencetak 6 album hingga tahun 2011, adalah pencapaian spektakuler Nial Djuliarso, musisi jazz muda Indonesia selama 20 tahun tinggal di Amerika. Tapi siapa sangka sosok yang bersahaja dan murah senyum ini pernah jadi tukang cuci piring? Simak perbincangannya di Steinway Family Story

 

Article Inline Ad

Sejak kapan Anda mengenal musik dan siapa yang mendorong Anda belajar musik?

Sejak usia 3 tahun saya sudah belajar piano. Saya sendiri lahir di Jakarta, 5 Februari 1981. Orang pertama yang mengenalkan musik adalah ayah saya. Beliau sendiri musisi jazz, sering bermain dengan mas Ireng Maulana dan kawan-kawan. Saya sempat belajar dengan Dr. Koei Pin Yeo di Yayasan Musik Jakarta, dan juga di Yamaha Musik. Namanya juga anak-anak, usia segitu belum bisa serius belajarnya. Apalagi saya juga senang main tenis, dan pernah bercita-cita menjadi pemain tenis professional.  Bahkan, saya sempat berhenti les piano pada umur 11 tahun selama 1,5 tahun, supaya saya bisa fokus berlatih tenis. Kedua hobi itu, terutama tenis, menjadi pengobat luka batin waktu masih duduk di SD

Kenapa?

Semenjak saya kelas 5 SD sampai 3 SMP, saya sering diganggu dan di-bully. Ada masa di mana anak yang duduk di sebelah saya sering mengejek dan memukuli saya, yang membuat saya malas sekolah, dan hanya memikirkan kapan saya bisa keluar dari sekolah sehingga saya dapat berlatih tenis. Saya hampir pindah ke sekolah atlet di Ragunan waktu saya naik ke kelas 6 SD. Tapi tidak jadi. Saya terus bersekolah di sekolah itu hingga lulus SMP.

Bagaimana akhirnya Anda memilih musik? Jazz khususnya?

Peran ayah sangat dominan dalam hal ini. Beliau yang            mengarahkan saya untuk ke musik saja daripada tenis. Mungkin karena dendam masa lalu hahaha… soalnya kata ayah, dulu beliau ditolak oleh kakek dan nenek ketika bermaksud berkarier di musik. Jadi, saya diharapkan jadi pengganti ayah hahaha…. Saya merantau di Amerika sejak tahun 1996 mulai kelas 1 SMA. Mulai di Limestone, di Washington College Academy selama 1 tahun, lalu pindah ke Chattanooga, ke McCallie School selama dua tahun. Ayah saya bergerilya melakukan kontak ke sana kemari agar saya bisa mendapat keringanan biaya sekolah dan asrama.

Mulai tertarik ke jazz sejak kapan?

Saya mulai tertarik ke jazz pada tahun 1996, tiga bulan sebelum saya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas. Waktu itu saya diajak ayah menonton konser gitaris jazz dari Amerika, Pat Metheny, di stadion tenis indoor Senayan. Malam konser itu adalah malam yang spesial buat saya, karena saya sangat menyukai musiknya. Begitu selesai menonton konser, saya bilang ke ayah, saya ingin belajar lebih banyak tentang musik jazz ini. Dan ayah setuju banget. Mungkin karena satu aliran hahaha…

Bagaimana hari-hari Anda bersekolah di Amerika?

Demikian hebatnya dampak dari bully-an di masa kecil saya, sehingga efeknya terbawa hingga saya bersekolah di Amerika. Saya harus menjalani hidup sendiri, bersekolah di Amerika Serikat. Jauh dari keluarga. Awalnya saya tumbuh menjadi sosok penyendiri dan cenderung kaku dalam berkehidupan sosial. Tinggal sendiri di Amerika tanpa orangtua dan satupun teman yang saya kenal tentu tidak mudah. Sementara itu, saya juga harus mencari uang untuk menambah biaya sehari-hari.

Apa yang Anda lakukan?

Saya bekerja bekerja apa saja. Yang penting dapat uang dengan halal. Saya bekerja sebagai tukang cuci piring dan mengepel ruangan kafetaria di sekolah, dan bertugas menempelkan kertas-kertas pengumuman di sekolah. Pada masa itu, saya juga mulai aktif bekerja sebagai pianis di restoran, gereja, club jazz, dan tempat-tempat lain. Saya juga mulai ikut kompetisi-kompetisi jazz. Penghargaan pertama yang saya terima sebagai pianis jazz adalah “Louis Armstrong Jazz Award”, tahun 1998. Ketika itu, saya masih bersekolah di SMA McCallie School, Chattanooga, Tennessee. Uang dari hasil kerja sampingan, main jazz dan hadiah kompetisi, sedikit banyak menolong saya untuk mencukupi biaya hidup yang tinggi. Dan yang lebih penting lagi, saya merasa tidak sendirian. Tidak lagi homesick. Dan saya juga mulai menyadari bahwa berkarier di musik, berarti saya harus membuka diri, dan banyak bergaul. Dengan kerja dan bermain musik saya mendapat banyak teman, baik sesama pemusik maupun penggemar.

Adakah momen penting dalam perubahan diri Anda itu?

Ya. Dan ini menjadi starting point yang menentukan dalam karier saya selanjutnya. Yaitu ketika pada tahun 1999 saya diterima untuk kuliah S1 di salah satu institusi musik terbaik di dunia, Berklee College of Music, dan untuk itu saya pindah ke Boston, untuk melanjutkan belajar musik. Pada tahun pertama saya mendapat beasiswa 60 persen, lalu pada tahun kedua sampai selesai, saya mendapat beasiswa penuh dari Berklee. Pada saat itu, jalan mulai terbentang di hadapan saya. Saya mulai mengajar piano dan melanjutkan tampil di cafe-cafe dan restoran. Saya lulus dari Berklee tahun 2004.  Momen kedua yang bersejarah bagi saya adalah ketika saya kembali mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliah di sekolah musik impian saya, yaitu di The Juilliard School di New York untuk program Jazz Studies. Sayangnya, pada saat itu Juilliard School belum ada program S2 untuk bidang Jazz, jadi saya ikut program Artist Diploma di bidang Jazz Studies. Tidak apa-apalah, yang penting saya bisa kuliah gratis. Saya beruntung selama di Juilliard dan Berklee, saya belajar dengan sejumlah musisi jazz kelas dunia, seperti Wynton Marsalis, Hank Jones, Kenny Barron, Carl Allen, Renee Rosnes, Danilo Perez, Joe Lovano, Joanne Brackeen, Hal Crook, dan Ed Tomassy. Saya lulus dari The Juilliard School tahun 2006 dan kemudian bekerja sebagai musisi dan mengajar musik di New York.

Sebegitu mudahnya Anda mendapatkan semua itu setelah lulus dari Julliard?

Oh…tidak. Masih segar dalam ingatan saya, pada tahun 2006-2007 setelah saya lulus dari Juilliard School di New York, saya menghabiskan waktu tiga bulan untuk mencari kerja sebagai pianis di cafe. Saya jalan kaki tiap hari, memasuki total kurang lebih 40 restoran, meminta berbicara dengan manajernya. Dari upaya itu, saya hanya berhasil mendapatkan pekerjaan di tiga restoran. Saya kurang yakin apakah ini cara yang paling efektif, tapi itu yang saya lakukan. Saat itu, belum terpikirkan harus bergerilya melalui sosial media.

Bagaimana peluang berkarier sebagai musisi di negara besar seperti Amerika yang penuh dengan musisi hebat?

Kalau melihat realitasnya, memang benar seperti itu. Kelihatannya mustahil untuk bisa bersaing dengan musisi-musisi top. Tapi saya punya prinsip, selalu ada peluang kalau kita mau berusaha.  Yang penting kita konsisten dengan apa yang menjadi passion kita. Ketika bekerja sebagai musisi jazz di New York misalnya, saya akui minta ampun sulitnya. Sangat kompetitif. New York itu bagaikan Mekkah-nya musik jazz. Semua musisi jazz hebat dari seluruh Amerika dan berbagai belahan dunia datang ke New York, dengan harapan bisa tinggal dan berkarir di kota ini. Bagi mereka yang besar di Amerika dan sudah memiliki jaringan, mungkin tidak terlalu sulit mendapatkan pekerjaan musik jazz. Tapi di luar itu, terutama kalangan pendatang, rata-rata harus bergelut mendapatkan keberuntungan, yang bahkan bayarannya tidak seberapa saking terlalu banyaknya musisi bagus yang bertebaran dengan harapan bisa diundang main. Tidak terkecuali dengan saya. Bekal sebagai lulusan sekolah musik terbaik di Amerika plus pemenang sejumlah kompetisi jazz di Amerika dan Eropa tidak berarti saya dengan mudah mendapatkan peluang dan keberuntungan. Pada masa-masa itu, saya sempat merasa down. Nyaris putus asa,  dan ingin memutuskan pulang saja ke Indonesia karena tidak kuat dengan persaingan yang sangat ketat sebagai musisi jazz. Namun, saya beruntung, di New York City dipertemukan oleh Allah SWT dengan seorang teman, yang kemudian menjadi sahabat,  dan kemudian menjadi istri saya, Tia Mutiasari. Dialah yang menguatkan saya, dan terus mengingatkan saya agar tidak menyerah. Dia mendukung saya pulang ke Indonesia, tetapi dengan syarat saya pulang dalam keadaan bahwa saya merasa sudah berhasil menembus persaingan, bukan karena merasa tidak mampu.

Apa yang kemudian Anda lakukan dan pelajaran seperti apa yang Anda petik dari pengalaman itu?

Tekad untuk tidak menyerah akhirnya muncul kembali dan saya terus berusaha membangun jaringan. Sedikit demi sedikit, tawaran bermain di jazz clubs, cafe, restoran, festival semakin bertambah. Pada akhirnya, Alhamdulillah, begitu banyak tawaran hingga saya kewalahan karena saya tampil sampai 7 hari dalam seminggu. Bahkan pernah dalam satu hari saya sampai harus tampil di tiga tempat. Untungnya New York City memiliki sistem transportasi massal yang cukup baik sehingga bermain di tiga tempat dalam satu hari tidak menjadi masalah. Yang saya simpulkan dari pengalaman hidup saya adalah bahwa di tengah keterbatasan apa pun, dan betapapun kita pernah mengalami kejadian yang tidak menguntungkan atau bahkan traumatis, kita masih bisa bangkit dan selalu menjalankan hidup dengan upaya terbaik di bidang apapun dan sebisa mungkin berguna bagi sebanyak mungkin orang. Saya mengatakan pada diri saya sendiri, harus terus menambah ilmu, pengalaman, berinteraksi dengan semakin banyak orang dari berbagai kalangan agar dapat saling menebar kebaikan. Dengan niat itu, saya bersyukur mendapat kesempatan bisa kuliah lagi dan menyelesaikan jenjang S2 untuk bidang musik jazz di New York University melalui beasiswa LPDP tahun 2016. Alhamdulillah saya lulus tahun 2018. Selama di New York University, tidak hanya berkuliah, saya juga diberi kepercayaan mengajar jazz bagi para mahasiswa S1 jurusan Jazz Studies. Saya gembira mendapat kesempatan tersebut karena dapat menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia kompetitif di berbagai bidang, termasuk musik jazz.

Kembali ke tanah air sejak 2018, apa saja aktifitas Anda sekarang?

Pada intinya sih tetap main dan mengajar jazz. Saya coba sharing kepada siapa saja yang tertarik dan berminat ke jazz. Saya juga ikut komunitas dansa swing, namanya Indoswing. Di Jakarta ada cafe jazz, Fabster namanya. Itu jadi markas kita, dan saya suka berlatih disana.

Setelah 20 tahun dan meraih sukses di Amerika dan Eropa, apakah ada keinginan untuk kembali ke Amerika?

Ya. Saya ingin kembali ke Amerika dan mendapatkan kartu hijau atau green card supaya saya dan keluarga bisa menetap disana. Dulu saya sempat bekerja di Grand Hotel di Michigan sebagai      pianis. Saya rencana mau bekerja lagi disana jika dapat green card, lalu pindah ke New York untuk menetap

Kenapa? Apakah karena di Amerika lebih prospektif?

Sejujurnya iya. Harus diakui bahwa ekosistim musik jazz di Indonesia tidak sedinamis di New York yang ada begitu banyak musisi dan klub-klub jazz hebat. Di New York ada lebih dari 50 klub jazz. Bahkan di restoran kecil sekalipun, ada yang main jazz.  Di Jakarta, setahu saya, saat ini hanya ada satu klub jazz. Fabster namanya. Sebagai musisi jazz, ada kegelisahan yang mendalam jika saya tidak main. Tapi dimana saya harus main di Jakarta ini? Andai saja ekosistem jazz di Jakarta sama seperti di New York, ini akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya musik jazz dan lahirnya musisi-musisi jazz baru karena bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka.

Sebagai pianis jazz, bagaimana Anda menilai piano Steinway and Sons?

Saya pikir semua musisi pasti tahu dan merasakan bagaimana kualitas piano Steinway. Saya pribadi sangat menyukainya karena Steinway memenuhi semua kebutuhan saya sebagai pianis jazz. Range dinamikan lebar, dari piano hingga triple forte. Responnya ketika dimainkan sangat mengagumkan. Sound-nya clear. Tone-nya bulat, gemuk, round. It’s spectacular !

Apa pesan Anda untuk anak-anak yang sedang belajar musik?

Pesan saya, belajarlah yang serius. Jangan setengah-setengah.

Belajarlah karena memang suka. Karena cinta. Jangan karena terpaksa. Nanti akan sia-sia. (*)

Article Bottom Ad