RASANYA tidak ada yang tidak kenal dengan Jaya Suprana, sosok multi talenta, berkepribadian unik, jenius, kreatif, dan memiliki hubungan luas dengan berbagai kalangan, dari politik, kebudayaan hingga agama. Dibesarkan dalam tradisi dan budaya Jawa, Jaya Suprana dikenal sebagai pianis, komponis, penulis, public speaker, presenter TV, kartunis, kelirumolog, humorolog, filantropis, pemerhati masalah sosial, budayawan dan pengusaha. Berikut bincang singkatnya dalam Steinway Family Story.
Bagaimana masa kecil Bapak?
Bisa dibilang masa kecil saya bahagia dan beruntung. Saya dibesarkan dalam tradisi dan budaya Jawa di Semarang. Ayah saya bukan pemusik. Ibu saya juga bukan pemusik. Bisa dikatakan bahwa musik itu nggak ada dalam keluarga saya. Cuma, walaupun kedua orangtua saya itu sama sekali bukan pemusik, tetapi beliau mendukung panggilan saya oleh musik.
Bagaimana Bapak terhubung dengan musik?
Karena saya dulu nggak punya piano, kata ayah saya, pada usia 4 tahun saya diajak ke rumah paman yang kebetulan punya piano. Melihat piano, kata ayah saya, saya langsung menghampiri dan menekan tuts-tutsnya, layaknya orang main piano. Saya bukan Budhis, juga bukan Hindu. Saya tidak tahu apakah dalam kehidupan saya di masa lalu itu, saya adalah seorang pianis. Tetapi yang jelas, sejak itu saya nggak bisa lepas dari piano. Sampai-sampai saya merengek kepada ayah agar membelikan saya piano. Akhirnya ayah membelikan piano, mungkin agar saya tidak nangis dan merengek-rengek terus. Jadi sama sekali bukan karena ada tujuan agar saya bisa main musik. Setelah dibelikan piano, saya kemudian menjadi senang melihat orang-orang main band dan ingin seperti mereka. Lalu saya dibelikan juga alat-alat band seperti gitar, drum, marakas, dan kecrek. Saya tidak bilang saya pemusik. Bukan. Sampai sekarang saya masih belajar. Cuma saya beruntung punya orangtua yang mendukung saya di musik
Tidak banyak anak-anak yang seberuntung Bapak. Bagaimana Bapak melihat realitas itu di sekitar kita?
Nah ini yang sebenarnya ingin katakan juga bahwa, saya yakin di pedesaan-pedesaan itu banyak anak-anak yang lebih berbakat dari saya. Cuma mereka tidak punya akses, kemudian orangtuanya juga tidak punya uang untuk beli piano, atau alat musik lainnya, sehingga akhirnya bakat musik itu hilang, Tapi buat saya it’s okey karena profesi di dunia ini nggak cuma musik saja. Banyak profesi lain. Saya sendiri bukan sosok yang yang wah…gimana gitu… Juga bukan sosok yang sangat berbakat, atau apalah namanya. Tidak. Saya cuma ingin menyatakan bahwa saya beruntung. Itu saja.
Apakah waktu kecil itu Bapak belajar musik?
Tidak. Memang dulu saya pernah dicoba les piano, tapi kalau gak salah cuma bertahan tiga bulan karena waktu itu usia saya 14 tahun. Usia segitu saya lebih senang pacaran dari pada les piano hahaha…Lalu saya disuruh latihan. Disuruh main musiknya Diabelli, Clementi, apaan? Juga Mozart. Siapa Mozart? Saya gak kenal. Saya nggak suka. Harus beginilah, harus begitulah, duduknya harus begini, nggak boleh begitu. Apa iya duduk saja harus diatur-atur. Saya diancam, kalau gak mau ikut aturan akan dikeluarkan. Wah… lha saya ya malah senang hahaha… Akhirnya saya dikeluarkan.
Tapi bagaimana Bapak kemudian bisa belajar di Jerman?
Nah itu dia, karena waktu itu saya masih termakan bahwa orang harus punya ijasah. Iya kan? Nah kalau ijasah Jerman kan keren. Ya sudah. Saya memaksakan diri berangkat ke Jerman, mendaftar di Musikhochschule, Muenster dan Folkwanghochschule, Essen. Nggak tahu kok saya diterima. Mungkin waktu itu mereka lagi kekurangan murid, makanya saya diterima. Saya lulus tahun 1970 dengan predikat magna summa cumlaude dan saya orang Asia pertama yang menjadi Kepala Sekolah Musik di Jerman, dan jadi pegawai negeri di sana karena waktu itu Jerman sedang kekurangan pegawai, sehingga saya dipakai. Kalau sekarang ya nggak laku
Menurut Bapak seberapa penting ijasah musik dalam hubungannya dengan perkembangan musikalitas?
Kalau punya ijasah dari akademi yang punya sejarah akademis di luar negeri, memang keren. Saya akui itu. Ijasah itu tanda kita pernah belajar. Tetapi bukan berarti seorang pemusik harus punya ijasah, karena pemusik yang paling saya kagumi justru nggak ada yang sekolah musik. Ismail Marzuki, Gesang, Titik Puspa dan Mely Guslauw, mereka semua nggak ada yang sekolah musik. Tapi lagu-lagu mereka wow…luar biasa indah. Lagu Bunda-nya Mely Guslaw, itu luar biasa. Ajaib. Nah saya tidak akan mampu bikin lagu seperti Mely Guslauw, karena kalau saya mau bikin lagu, di kepala saya sudah penuh dengan aturan-aturan, ini gak boleh, itu gak boleh, ini gini, harus itu, harmoninya kalau begini harus begitu, dan macem-macem. Pokoknya aturannya banyak sekali. Jadi, enerji saya habis untuk ngikuti aturan-aturan itu. Melly Guslauw sih enak, nggak ada larangan-larangan. Dia bikin Bunda, keren sekali. Dan juga Menghitung Hari, itu luar biasa. Titik Puspa bikin Kupu-Kupu Malam, Gesang bikin Bengawan Solo, atau Ismail Marzuki dengan Indonesia Pusaka, Lambaian Bunga, Kunang-Kunang, gila…itu lagu semua hebat-hebat, bahkan hehehe….itu kalau Ismail Marzuki ikut ujian komposisi, pasti dicoret, karena itu penuh dengan “kekeliruan”.
Kenapa?
Karena beliau banyak sekali menggunakan gerak dari dominant ke sub dominant, kemudian pararel kwint masuk semua disitu. Semuanya “melanggar” aturan teori musik. Atau lagu-lagu karya Ki Nartosabdo, dimana lagunya ya pararel semua, dan nggak ada masalah. Mereka musisi-musisi hebat yang dikagumi banyak orang. Maka saya ingin bilang begini, jangan kecil hati putra-putri bangsa Indonesia. Kalian bisa bikin musik Indonesia yang tidak kalah dengan musik Jerman, tidak kalah dengan musik dari negara manapun. Saya mempelajari lieder-nya Franz Schubert mendalam sekali. Johannes Brahms juga saya pelajari semua, tapi saya melihat Ismail Marzuki tidak kalah. Teks Indonesia Pusaka, gila itu. Franz Schubert kalau bikin lagu itu dia bikin melodinya. Syairnya dari orang lain, misalnya dari Goethe, Schiller, Ainne. Tapi Ismail Marzuki, semua teksnya dia bikin sendiri. Keren apa nggak?
Bapak belajar musik klasik, tapi kemudian menyukai musik di luar dari yang Bapak pelajari. Lalu ilmunya untuk apa?
Buat nakut-nakutin orang hahaha….Kalau ada orang mau membantah saya, hati-hati lho saya lulusan Jerman hahaha….Padahal saya waktu lulus saya nangis lho. Di Jerman itu lulus Doktor S3, S4 apalah, nggak ada pakai badut-badutan. Nggak ada itu pakai jubah, toga dan lain-lain. Lulus ya lulus gitu saja, kasih ijasahnya, eh…kamu lulusan terbaik ya. Gitu aja. Nangis saya. Sampai profesornya tanya, ‘Kamu terharu ya?’ Saya bilang tidak. Saya nyesel, jawab saya. Kenapa? Karena ternyata saya tiga tahun belajar mati-matian itu untuk dapat secarik kertas ini. Saya bilang, saya dapat kertas ini karena saya kan nurut sama maunya kamu. Kalau saya nggak nurut sama kamu, gini nggak boleh, gitu nggak boleh, mana saya bisa lulus? Guru kontrapung saya, muridnya Luigi Nono, itu tokoh hebat di bidang kontrapung. Waduh setengah mati saya belajarnya, karena di otak saya isinya kontrapung slendro, pelog. Tapi saya harus nurut, kalau nggak kan saya nggak lulus. Nah, makanya saya lulus karena nurut, tapi itu bukan diri saya. Itu bukan Indonesia. Saya juga sekolah seni rupa. Sama saja. Seni itu nggak bisa diilmukan. Ya kalau dipaksakan sih bisa, tetapi kalau mau jujur, itu nggak bisa.
Mengapa?
Seni itu lebih banyak menyangkut perasaan daripada otak. Anda tahu lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang kan? Waduh Itu lagu luar biasa indahnya. Saya berbicara dengan Anjar Any sang penciptanya, bagaimana proses penciptaan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang itu. Ternyata mengejutkan. Semua teori musik saya pelajari, nggak jalan di situ. Tapi menurut saya, itu lagu paling indah di dunia. Atau lagunya Ki Nartosabdo seperti Gambang Suling, wihh..ngeri itu. Atau Tak Lelo Lelo Ledung, Jenang Gulo, wihh…nggak jalan semua teori musik itu. Doremifasol nggak bunyi
Sejak kapan Bapak tertarik dengan musik kita sendiri?
Sejak kecil. Tapi waktu itu saya belum tau apa-apa. Baru setelah saya belajar di Jerman, saya bisa melihat dan merasakan bahwa musik kita tidak kalah hebat dengan musik dari negara manapun. Saya telah memainkan hampir semua karya komponis dunia. Tanpa mengurangi kagum dan hormat terhadap garapan diatonis Johannes Brahms terhadap syair dalam bahasa Jerman gubahan Clemens Brentano misalnya, gejolak nurani dan sanubari saya lebih bertabur suasana sumedhot rasaning ati ketika mendengar syair dalam bahasa Jawa gubahan Anjar Any dimusikalisasilan dengan titi pancanada slendro oleh Anjar Any sendiri. Bukan berarti daya estetikal Anjar Any lebih sakti mandraguna daripada Johannes Brahms atau sebaliknya. Namun sekadar akibat secara subyektif selera estetikal pribadi saya telah terlanjur terbentuk oleh aura lingkungan kebudayaan dan peradaban Jawa daripada Deutsche Kultur und Zivilisation. Sama halnya dengan lidah saya sudah terlanjur lebih tersihir kelezatan sate kambing dan nasi putih ketimbang Bratwurst und Pommes Frites.
Apa yang Bapak tangkap dari fenomena musikal seperti itu?
Anda harus menjadi diri sendiri! Mengapa? Karena saya punya keyakinan bahwa semua manusia itu komponis. Sehebat apapun ilmu dan teori musik yang dikuasai, jangan jadi penjara kreativitas. Dunia ini sudah penuh dengan orang-orang hebat yang memainkan karya-karya komposer hebat. Buatlah musikmu sendiri dan jadilah dirimu sendiri!
Banyak anak-anak muda kita yang belajar musik di luar negeri dan telah kembali ke Indonesia, tetapi hanya beberapa gelintir yang fenomenal. Mengapa?
Begini. Saya punya teori yang saya sebut “Lima I”. Apapun di dunia ini, termasuk musik, kalau kita mau sukses harus punya Lima I ini. I yang pertama, Informasi. Kita harus menyerap informasi sebanyak mungkin. Jadi, semua ilmu kita serap. Walaupun tidak kita pakai, serap semua. Saya sampai belajar ke Jerman, supaya saya tau kontrapung itu apa, harmoni itu apa, tritones itu apa. Tapi memang tidak semua ilmu kita pakai, makanya kita perlu olah semua informasi itu dengan I kedua yaitu Intelejensia. Dengan kecerdasan, kita pilih informasi mana yang berguna. I yang ketiga adalah Intuisi. Di dunia ini banyak pilihan. Tetapi kan tidak ada pilihan yang sempurna. Jadi kita harus pilih yang mana. Dengan apa? Jangan pakai otak, karena kalau pakai otak kita nggak akan jalan. Pakai perasaan. Intuisi. Ini penting sekali. Nah semua informasi kita olah menjadi keputusan. Agar nyata, maka perlu I keempat yaitu Implementasi. Digunakan. Pertanyaannya adalah, tapi kok ada yang sukses dan ada yang tidak? Nah I kelima inilah yang menentukan, yaitu Insya Allah. Kita serahkan semuanya pada Allah. Dia lah yang menentukan.
Sebagai pianis bagaimana Bapak melihat piano Steinway?
Saya selalu menganalogikan piano Steinway itu dengan mobil Mercedes Benz. Dua-duanya buatan Jerman yang memiliki popularitas dan kualitas tidak diragukan lagi. Steinway ini susah ditandingi karena ada sukmanya. Dan kalau sudah bicara sukma, maka sains sudah tidak bisa ngomong lagi. Ini betul-betul emosional. Saya pernah mengalami orgasme musikal waktu saya meminkan karya Johannes Brahms dengan Steinway di Hamburg, dan itu waduh…luar biasa sensasinya. Saya yakin Brahms menciptakan lagu itu dengan piano Steinway karena benar-benar sukmanya merasuk dalam diri saya, sampai-sampai saya merasa sudah tidak menjadi diri saya sendiri. Saya nggak ngerti bagaimana Steinway ini dibuat, tetapi entah mengapa setiap saya memainkannya serasa antara saya, Steinway dan lagunya, menyatu dan hidup. Sensasi seperti ini tidak saya dapatkan selain dengan Steinway.
Baiklah. Terimakasih atas waktu Bapak untuk berbincang dengan kami
Sama-sama. Salam sukses selalu untuk Steinway dan musisi- musisi Indonesia. (*)
Foto Jaya Suprana by Askara