Memiliki masalah penglihatan sejak lahir, Yongky Vincent Nathanael berkembang sebagai anak yang memiliki kepekaan luar biasa di telinganya. Keajaibannya dalam mendengar, menangkap dan mengolah suara, menjadikan Yongky improvisator cemerlang di musik jazz Indonesia saat ini. Berikut bincang singkatnya di Steinway Family Story
Sejak kapan dan bagaimana Anda mengenal musik?
Sejak umur empat tahun saya sudah terbiasa mendengar musik, terutama di gereja. Melihat orang bermain musik, bagi saya keren banget. Pada usia empat saya bergabung di sekolah musik di kawasan jalan Gatot Subroto dalam program pendidikan musik untuk anak. Diajari nyanyi dan notasi musik. Tapi saya sering sulit membaca notasi musik. Akibatnya saya lebih suka mendengar dan menirukan apa yang diucapkan dan dipraktekan guru
Kenapa?
Ada masalah dengan mata saya. Sejak lahir mata saya menderita strabismus atau juling, akibat adanya gangguan koordinasi pada otot penggerak bola mata. Kalau disuruh membaca, saya tidak bisa tahan lama karena sering pusing. Akhirnya saya lebih banyak mendengar dan menirukan. Rupanya secara tidak langsung hal inilah yang mungkin membuat telinga saya menjadi lebih peka dengan suara. Jika ada istilah “play music by ear”, barangkali itulah yang selama ini terjadi dengan saya. Ada tiga proses dalam hal ini, yaitu mendengar, meniru, dan mengembangkan
Bagaimana ketiga proses itu berkembang?
Semua berproses di sekolah musik dimana saya belajar berkreasi melalui kombinasi imajinasi dan eksplorasi, dan mengembangkan kemampuan membuat dan memainkan musik. Dua sosok penting di fase awal ini adalah Ferdinan Marsa dan Vera Soeng, yang mengembangkan kemampuan hearing saya. Saya berterimakasih kepada beliau berdua karena meyakinkan saya bahwa musik itu bukan hanya soal penglihatan, tapi suara. Dan itu berhubungan langsung dengan telinga. Itulah mengapa banyak musisi yang punya masalah di penglihatan, tapi memiliki kemampuan hearing luar biasa.
Kabarnya Anda pernah menjadi ikon sekolah musik?
Sebenarnya bukan saya pribadi, tetapi dengan beberapa kawan satu angkatan di kelas Junior Original Concert, satu kelas khusus yang mengeksplorasi anak-anak berbakat, dimana para siswa tidak hanya diajarkan memainkan lagu yang sudah ada, tetapi diajarkan juga untuk membuat sendiri komposisi lagu sesuai dengan perasaan hati dan ekspresi masing-masing. Semua bertujuan untuk menciptakan pribadi yang kreatif. Nah, jadi sejak kecil saya sudah terbiasa membuat komposisi dan berimprovisasi. Karya-karya original itu setiap tahun ditampilkan, mulai dari tingkat sekolah musik, wilayah, nasional, dan internasional. Salah satu contoh yang menarik adalah, dalam setiap pertunjukan, kami sering mengundang penonton naik ke panggung untuk memberikan motif tiga not di piano, lalu kami meramunya menjadi sebuah komposisi seketika itu juga berbasis tiga not tersebut. Terus terang, teknik ini banyak membantu perkembangan teknik improvisasi saya. Nah, saya dan beberapa siswa lalu membentuk kelompok yang bernama Young Boys, dimana kelompok ini memainkan beragam jenis musik dan alat musik. Puncaknya adalah ketika Young Boys mengikuti ajang pencarian bakat, Indonesia’s Got Talent tahun 2011 dimana Young Boys meraih Runner Up Indonesia’s Got Talent dan masuk Semi Final Asia’s Got Talent. Ini merupakan lompatan besar di ruang publik yang lebih luas, dan menjadi titik penting perjalanan saya selanjutnya
Kenapa?
Selepas dari penampilan saya di acara itu, tawaran bermain dan berkolaborasi dengan musisi profesional mulai berdatangan. Saya kaget, ternyata banyak yang mengapresiasi permainan saya. Terus terang ini menjadi motivasi kuat bagi saya untuk memperdalam musik dan menjadi musisi professional.
Kembali ke soal penglihatan Anda, bagaimana selanjutnya?
O ya…tentu saja saya tidak selalu bermain dengan mengandalkan telinga. Ada kalanya saya harus mengikuti pattern tertentu yang harus saya baca selintas. Itu satu hal. Hal lain bahwa kelainan otot mata saya memang terasa mengganggu. Atas dasar inilah, orangtua saya mencari kemungkinan untuk mengobati mata saya. Apalagi ketika di sekolah umum dan pada saat kuliah kan tidak mungkin kalau hanya mengandalkan telinga.
Sejak kapan Anda terjun di dunia musik professional?
Sebenarnya sejak saya masih belajar dan jadi ikon sekolah musik, saya sudah dibayar. Kan udah professional tuh hahaha….Tapi jika maksudnya kapan saya mulai berbaur dengan musisi-musisi professional di jazz misalnya, mungkin sejak saya meraih Runner Up of Indonesia’s Got Talent 2011 dan Finalis Semi Final Asia’s Got Talent. Sejak saat itu, boleh dikata wawasan saya terbuka lebar. Banyak tawaran main dengan musisi lain. Misalnya, sempat bekerjasama dengan Glenn Fredly, Tompi, Fariz RM, Harvey Malioholo, dan Elfa Secoria. Juga berkolaborasi dengan musisi jazz lain seperti bassist Indro Hardjodikoro dimana kami tampil di World Jazz Youth Fest 2017 di Malaysia. Ikut membantu mengisi piano pada proyek rekaman dengan mas Willy Sumantri, membentuk KeysMate tahun 2016 bersama musisi jazz Ivan Alidiyan, Christ Stanley, dan Marthin Siahaan. Saya juga ada bikin single sendiri berjudul Unending Grace bersama mas Doni Hardono, dan masih banyak lagi
Dari semua itu, dengan siapa yang paling berkesan?
Pengalaman bermusik dengan siapapun, buat saya semua berkesan karena selalu ada pengalaman dan ilmu baru yang didapat. Inilah enaknya di jazz, bahwa tidak ada satu orang pun yang merasa dirinya superstar. Jazz itu egaliter dan memberi ruang yang sama bagi setiap musisi. Sangat menghargai apapun style setiap pemain. Dan hebatnya, di jazz itu semuanya bisa masuk. Berbeda dengan jenis musik lain. Dari semua kerjasama saya dengan musisi jazz, barangkali dengan Elfa’s Singer saya terlibat lebih dalam dimana saya menciptakan lagu berjudul, Terindah yang juga menjadi cover album mereka. Saya dibantu mbak Uci Nurul yang membuatkan liriknya
Siapa sosok yang berkontribusi dalam membentuk Anda seperti saat ini?
Kalau itu yang dimaksud adalah para guru saya, maka ada lima sosok penting yang membentuk saya hingga saat ini. Mereka adalah Ferdinand Marsa, Vera Soeng, Sri Hanuraga, Cendi Luntungan, dan Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah. Lima sosok ini memperkaya pengetahuan dan pemahaman saya tentang musik secara umum, dan jazz secara khusus.
Siapa yang menginspirasi Anda dalam membentuk karakter dan style bermusik Anda?
Terus terang saya terinspirasi permainan Bob James, David Benoit, Dave Grusin, Oscar Peterson, Sergio Mendez, Elfa Secoria dan Bubi Chen, tetapi pada akhirnya saya harus menemukan dan membangun ciri khas saya sendiri. Mengapa? Sebab, sehebat apapun seseorang meniru gaya permainan orang lain, tidak akan pernah bisa benar-benar sama. Dan sebenarnya, meniru permainan orang itu suatu hal yang stagnan. Dalam jazz, sesuatu yang stagnan itu membosankan. Justru kekuatan dalam jazz ada pada pemain yang punya ciri dan gaya permainan sendiri, dan itu sangat mudah dikenali, baik melalui cara dia memetik gitar misalnya, atau gaya improvisasinya di piano. Teknik piano jazz itu menggunakan semua akord yang ditemukan dalam musik seni Barat, seperti mayor, minor, augmented, minimized, seven, minimized seven, six, minor seven, major seven, suspension four, dan seterusnya. Nah, bagaimana keterampilan mengolah semua akord itu agar memiliki sense of jazz, adalah soal seni, sensitivitas dan citarasa yang pasti berbeda antara satu orang dengan lainnya. Di jazz itu tidak ada pemain yang sama mainnya.
Apakah sejak awal Anda terobsesi menjadi musisi jazz?
Pada awalnya tidak ada bayangan jadi musisi jazz. Waktu kecil saya hanya pingin bisa main musik saja. Saya belajar piano klasik, tapi ya itu tadi, karena mata saya bermasalah, saya tidak tahan. Saya nggak suka yang kaku dan mengekang. Saya suka yang bebas berekspresi. Saya orangnya selalu mencari dan mencoba sesuatu yang baru.
Bagaimana Anda sampai pada pilihan menjadi musisi? Tidak adakah bidang lain yang menarik? Bagaimana sikap orangtua Anda dalam hal ini?
Nah ini dia… Dari awal, interest saya hanya musik, dan itu yang jadi fokus saya. Orangtua saya agaknya melihat ketertarikan saya yang begitu besar di musik sehingga mengajak saya belajar di sebuah sekolah musik. Barangkali seperti halnya orangtua lainnya yang melihat belajar musik juga bisa mengalihkan perhatian anaknya biar nggak main game saja hahaha…. Orangtua saya melihat saya punya bakat di musik, dan beliau memang mendukung saya untuk belajar musik, tapi mungkin tidak menduga kalau anaknya akhirnya milih jadi musisi hahaha…
Kok Bisa?
Udah jadi pandangan umumlah, musik itu bukan sesuatu yang menjanjikan. Mendingan sekolah bisnis, jadi dokter lah, atau apa saja, asal jangan musik. Jujur, saya memahami ketika orangtua saya meminta saya serius belajar, serius sekolah. Jangan main musik melulu. Waktu di bangku SMA saya ingat bagaimana sulitnya saya harus membagi waktu antara bersekolah dan bermusik. Suatu hari pernah ketika saya mau latihan, ruangan piano dikunci. Saya terpaksa harus latihan pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah. Itu pun ternyata diprotes tetangga karena mengganggu. Bahkan tetangga sempet kirim anjing, padahal saya takut banget sama anjing. Tapi ya sudahlah itu merupakan beban dan jalan berliku yang harus saya lalui.
Bagaimana Anda tiba pada kesadaran bahwa dunia Anda adalah musik?
Kesadaran itu muncul ketika saya merasa mendapat kepuasan saat bermain, saat di panggung dan berbagi dengan orang lain melalui musik. Bagi saya musik telah memberi pengalaman dan kepuasan batin luar biasa, dan ini bersifat pribadi. Orang lain tidak bisa menilai kepuasan itu dari perasaan dan pikirannya karena mereka tidak mengalaminya. Artinya, kepuasan batin itu sesuatu yang inheren. Tidak bisa dipertanyakan. Saya dapatkan kepuasan itu di jazz. Tetapi dalam upaya mencapai karier bermusik saya, saya juga mengalami hal-hal yang tak terbayangkan bakal terjadi
Bagaimana akhirnya orangtua mengalah dengan pilihan Anda?
Mungkin karena mereka melihat kegigihan dan keseriusan saya dalam belajar musik. Mungkin juga karena mereka melihat bahwa passion saya memang di musik. Makanya selepas SMA, ketika saya minta untuk meneruskan ke universitas musik, mereka mendukungnya, walau tidak bisa mengkuliahkan saya di luar negeri.
Apa yang membuat Anda yakin dengan pilihan di jazz?
Hidup tuh sudah ada yang atur. Saya hanya menjalani saja. Saya percaya bahwa selalu ada penyertaan Tuhan dalam setiap gerak hidup saya. Bahkan saya bisa menjadi seperti ini sekarang, adalah karena penyertaan Tuhan. Jadi saya tidak pernah kuatir. Rejeki sudah ada yang atur. Tugas saya bagaimana dengan bakat dan talenta yang Tuhan berikan ke saya, bisa bermanfaat dan menebarkan kebaikan bagi banyak orang
Sebagai musisi, bagaimana Anda melihat piano Steinway?
Piano Steinway is best of the best. Steinway adalah satu-satunya piano di mana pianis dapat melakukan semua yang dia inginkan, dan semua yang dia impikan
Apa rencana ke depan Anda dan apa pesan untuk anak-anak muda yang sedang belajar musik?
Di masa pandemi ini memang membuat gerak kita serba terbatas. Termasuk para musisi. Saat ini saya sedang mempersiapkan Dario Music, sebuah orchestra atau boleh juga disebut big band yang melibatkan banyak musisi dan instrument. Mudah-mudahan setelah pandemi bisa saya tampilkan. Pesan saya untuk anak-anak yang masih belajar dan ingin berkarier di musik, seriuslah sejak awal dan fokuslah pada apa yang menjadi passion-mu. (*)