ORI

116

Article Top Ad

MISALKAN Anda membuat lagu yang progresi Chordnya begini: C-Am-Dm-G7-C. Begitu terus dan terus sampai habis. Melodinya, Anda buat dengan mencampur dan mengutak-atik serta meramu dan mengaduk-aduk nada-nada yang cuma hanya Do Re Mi Fa So La Si Do. Terus Anda bilang: “Ini lagu Karya Cipta saya. Asli. Genuine. Ori lho”. Apakah persoalannya selesai sampai di situ? Tidak. Sangat tidak.

Pertanyaan pertama: Anda mencipta apa? Akor model begitu sudah ada kok. Dan sudah puluhan juta bahkan mungkin milyaran orang bikin lagu dengan progresi akor semacam itu. Pertanyaan kedua: Apakah melodinya karya cipta Anda secara Ori (ginal)? Bukankah Anda itu memakai nada-nada yang sudah ada? Trilyunan kegiatan per hari nyanyi Do Re Mi Fa dan seterusnya. Kemudian Pertanyaan ketiga: Oh kalo begitu ya ramuannya. Racikan nada-nada tersebut yang ori. Tidak juga. Perhatikan saja Cadensnya. Perhatikan saja nada nada Akordis nya. Trilyunan kegiatan bermusik yang memakai Cadens, Chordal Tone seperti Anda.

Membaca keterangan tersebut beberapa dari Anda bisa saja langsung demam menggigil. Atau meradang marah dan murka. Beberapa lagi mungkin saja langsung putar otak untuk membantah. Lalu sejumlah kecil dari pembaca akan dengan emosi berteriak.”Lho kalo begitu caranya… bagaimana tuh dengan hak cipta? Berarti gak ada dong yang namanya hak cipta cipta?”.

Article Inline Ad

Begini. Di belahan lain, ada komposer-komposer muda kita yang membuat Gendhing dengan laras Gamelan secara Diatonis. Ada juga yang membuat karya dengan merancang sistem Tala nada yang “baru“ untuk alat musik Sapee dari Banjarmasin. Ada lagi yang membuat karya musik dengan materi musikal dari pembaharuan teknik permainan Kedire (Jangan jangan anda langsung Googling tentang Kedire).

Tak pupus sampai disitu. Komposer legendaris yang sempat dimiliki Indonesia juga sudah membuat sesuatu yang “baru” dan “Ori”. Misalnya mas Slamet Abdul Sjukur dengan karya musik Minimax dan Ensiklo bunyi bunyi yang mampu dihasilkan mulut manusia. Ben Pasaribu dengan Frase repetitif untuk Perkusi Gondang Batak. Sapto Rahardjo dengan Gamelan yang “dikawin paksa” dengan ArtRock Music. Yang jelas beliau beliau ini karyanya lebih ori dari yang jumawa mengumumkan istilah karya cipta.

Dari paparan tadi, benang merahnya adalah, bahwa sebetulnya tidak ada karya musik yang 100% original. Tidak ada. Dan hal ini juga berlaku pada ranah seni yang lain. Menggambar misalnya. Juga tidak 100% original karena secanggih apapun satu gambar, material utamanya tetap hanya garis lurus dan garis lengkung.

Sebuah hasil seni dinyatakan original setelah dan sepanjang hasil itu berada dalam keadaan utuh. Dan istilah ORI ini tentu saja bisa diperdebatkan. Oleh kareanya, secara hukum, hak cipta atas karya musik, digolongkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Tidak serta merta berdiri mandiri sebagai Hak Cipta Musik. Hak kekayaan intelektual (HKI) didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, seperti UU Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varitas Tanaman, Sirkuit terpadu dan Merek.

Definisi tersebut tentu menimbulkan konsekuensi. Penggunaan istilah “ciptaan” menjadi sangat relatif dan jika Anda mau sedikit saja mencermati, ada banyak kontroversi pada istilah “ciptaan”. Misalnya saja begini: Dalam sebuah pertunjukan, MC yang berjas dan wangi memperkenalkan penampil, “Inilah karya cipta Mr X”. Karya cipta?. Wow. Again, Karya cipta lho. Setelah itu yang tampil satu orang main keyborad yang ada “setannya” karena bisa bunyi sendiri tanpa dipencet dan satu orang lagi menjinjing Ghithar Gembrung, nyanyi “mabok jandaaaa mabok jandaaaaa…..

Karya Cipta hasilnya cuma mabok janda? Ampun deh. Kenapa tidak disebut sebagai “karya” saja? Karya saja sudah cukup kan. Dan….. yang bisa mencipta itu hanya Yang Maha Esa. Ingat, bahwa mencipta itu menjadikan sesuatu dari yang sama sekali tidak ada, menjadi ada. Hal semacam itu kesannya remeh. Hanya masalah istilah. Bukan itu sebetulnya. Pemakaian istilah adalah konsekuensi dari bagaimana kita memposisikan dan mengapresiasi makna ORI. Dalam blantika musik Internasional, yang selalu ditulis adalah: Music by…Lyric by….

Atau kalau borongan dia buat musik dan syairnya ditulis Song by….Untuk karya musik seni, semisal musik klasik, malah hanya judul, kemudian by…. Atau composed by…. dan tahun pembuatanya. Composed dan bukan Creation. Itulah kenapa kemudian disebut sebagai Composer yang artinya adalah orang yang mengkomposisi. Meramu. Mencampur. Sama sekali Bukan mencipta. Sampai disini faham kan?

Sudah Diperdebatkan
Sebetulnya, originitas karya musik sudah diperdebatkan semenjak adanya teknologi digital. Jika Anda bergumul dalam ranah komposisi tentu Anda pernah mendengar istilah Sampling. Dengan Sampling, Anda bisa mencuplik permainan seorang pemusik, Anda cuplik saja misal satu phrase 15 detik. Phrase yang Anda cuplik misal dari CD pemusik terkenal, selanjutnya Anda olah dengan komputer untuk komposisi Anda. Jika keadaannya begini, lalu bagaimana dengan ke- ori-annya?

Ada yang mengatakan bahwa “ Yaaa tetap ori lah kan dia yang mengkomposisi musiknya”. Lalu ada yang mendebat: “Tapi jangan lupa….frase yang dia curi itulah yang membuat komposisi musiknya menjadi bernyawa”. Debat ini akan berkepanjangan dan tak akan pernah usai.

Fenomena semacam Sampling ini, belakangan kian marak, dengan mulai hadirnya Metaverse. Semesta maya. Orang bisa menjadi ahli musik mendadak tanpa perlu puluhan tahun belajar musik, cukup dengan memprogram Avatar dan memasukkannya dalam Metaverse. Ditambah lagi munculnya Artificial Intelligent. Dengan AI, Anda bisa membuat musik sendiri yang rasa dan nuansa nya misalnya seperti musik Chopin, Beethoven atau siapapun termasuk Mbah Surip almarhum.

Nah, si AI ini kerjanya sebagai otak buatan yang terlalu pintar. Dia dengan teknik komputasi mengumpulkan dan mengolah semua data tentang Chopin, misalnya. Musiknya. Catatan-catatan. Analisa Professor. Masterclass-masterclass. Lalu dikumpulkan, diolah, dan jadilah dia bikin musik untuk kita. ORI-nya bagaimana kalau prosesnya begini? Entah. Tapi ini masih mendingan. AI ini bagaimanapun juga, kitanya ada kerjanya. Misal menyiapkan rancangan konsep komposisinya. Ada yang lebih parah karena terlalu canggih yakni CHAT GPT.

Chat GPT adalah robot atau chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan ini mampu melakukan percakapan dan memberikan jawaban terhadap kebutuhan serta pertanyaan penggunanya. Interaksi percakapan yang terjadi pun dapat terlihat sangat natural. Memang, sampai saat ini Chat GPT adalah obrolan atau Chatting. Tetapi, dengan memasukkan bahasa mesin, Chat GPT bisa membuatkan musik instan untuk kita. Saat ini memang teknisnya masih rumit. Namun perlu diingat, kemampuan Chat GPT akan terus dikembangkan untuk semakin user friendly.

Sampai disini, mungkin pembaca yang budiman akan bertanya, ini dari tadi ribut ORI kenapa sih? Biarkan saja. Teknologi sudah maju jaman sudah berubah ya biar saja. Masalahnya begini. Originalitas menjadi penting karena banyak dan sangat banyak komposer yang menggantungkan hidupnya pada ke-originalitas-an karyanya. Jika hal itu ini kemudian menjadi ajang debat, bagaimana kemudian nasib para komposer yang menggantungkan periuk nasinya dengan jualan karya? Siapa yang mau beli? Karena orang akan tak lagi harus belajar untuk membuat satu musik yang bermutu. Ini bisa saja menjadi tragedi kesenian! Beberapa komposer mulai mempertanyakan hal ini. Jadi… apa yang bisa dilakukan?

Jelas yang pertama mengemuka adalah meredefinisi makna dan makna baru originalitas. ORI membuka dan terbuka bagi ruang kreatifitas dengan manipulasi teknologi. Memang hal ini sedikit banyak akan “mengancam” keberadaan para komposer yang dengan setengah mati dan sepenuh hati menghadirkan hati originalitas karya musik dalam batasan yang masih lazim menurut ukuran cita rasa dan logika pada umumnya. Namun, keberadaan dan gencarnya serbuan teknologi yang nyaris tanpa ampun, perlu disikapi dengan memaknai kembali batasan ORI.

Hal berikutnya adalah, sudah waktunya para komposer beradaptasi secara signifikan dengan teknologi. Ingat bahwa teknologi selalu memiliki 2 sisi. Satu sisi, teknologi dapat menjadikan semua hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, menjadi mewujud. Di sisi lain, teknologi juga dapat menipu, mengkamuflase, melakukan penyesatan yang sungguh menyesatkan.

Adaptasi para komposer dengan teknologi tujuan utamanya adalah mengerem dan mengendalikan teknologi itu sendiri. Komposer harus mampu membuat karya super canggih dengan cita rasa dan presisi tinggi. Teknologi dipakai untuk mewujudkannya. Jika karya komposer yang berteknologi dan hebat sudah banyak, maka celah para petualang, para komposer karbitan, tukang bajak, tukang ngaku ngaku karya orang akan semakin berkurang.

Publik juga harus diedukasi. Tugas para guru musik. Para akademisi musik untuk mengedukasi publik. Apa yang ORI dan apa yang tipu bajak bajakan dan cuma mengaku-ngaku. Hal semacam ini penting dilakukan. Agar seni, terutama musik, tidak kehilangan marwahnya. Tidak kehilangan martabatnya. Dan sebetulnya, ORI itu adalah tiang penjaga martabat seni musik itu sendiri. Jika originalitas runtuh, maka musik tak ubahnya hanya sebuah dagangan murahan dan menjijikkan. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)

 

Article Bottom Ad