Problem Kesehatan Bagi Pemusik

69

Article Top Ad

BANYAK orang, yang bisa saja dengan sinis, atau memang dengan ketulusan hati, mengatakan bahwa pemusik itu manusia yang hidupnya senang dan gembira.
Kerjanya hanya bermusik, buat musik, nyanyi- nyanyi, tampil ditepukin tangan. Ada lagi yang mengiyakan satu Quotes yang bunyinya: there is no holiday for musician because everyday is holiday.

Di lain sisi, ada juyga khalayak yang melontarkan cibiran. Entah apa maksudnya. Mereka ini seringkali berujar: Problem kesehatan pemusik ya stress. Sakit kepala, nggreges mriyang, karena bayar cicilan, bayar listrik gak kuat, anak-anak sekolah juga berat.
Sebetulnya, pemusik adalah profesi. Dan sebagai sebuah profesi, tentu pemusik memiliki juga resiko profesi. Ada banyak resiko profesi yang dihadapi pemusik. Salah satunya adalah problem kesehatan.

Problem kesehatan ini tak jarang dapat membawa kematian bagi si pemusik. Yang terhormat tentu saja mati di panggung pertunjukan pada saat tampil. Jika ini terjadi, dapat dikatakan seorang pemusik sudah purna tugas dengan mulya. Meski tentu hal ini pun bisa bersifat sangat relatif.

Article Inline Ad

Seorang pemusik dapat mengalami sejumlah masalah kesehatan. Hal itu terkait dengan frekuensi dan intensitas latihan serta berbagai hal termasuk stress dan Anxiety penampilan musik saat di panggung pertunjukan. Perbedaan dalam jalur masa depan karier, intensitas pekerjaan, dan skenario kinerja atau cara melakukan pekerjaannya, merupakan beberapa faktor yang menentukan berbagai dampak kesehatan yang mungkin terjadi bagi seorang pemusik.

Berikut paparannya. Dan semua paparan ini sangat dapat dipertanggungjawabkan karena disarikan dari berbagai Jurnal Kedokteran terpercaya dan bukan Wikiwiki. Beberapa topik juga sudah penulis konsultasikan dengan Dokter ahli di rumah sakit terkemuka.

Repetitive Strain Injury
Jenis cedera yang paling sering dialami musisi adalah cedera akibat regangan yang berulang (RSI), atau Repetitive Strain Injury. Suatu keadaan cedera pada jaringan sekitar otot yang di sebabkan karea tekanan atau kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Yang di tandai denga nyeri pada bagian otot dan jaringan saraf sekitar, biasanya bahu, lengan dan tangan.

Sebuah survei terhadap pemain orkestra menemukan bahwa 64–76% Pemusik anggota sebuah orkestra memiliki RSI yang signifikan. Jenis gangguan muskuloskeletal lainnya, seperti sindrom Carpal Tunnel dan Fokal Distonia, juga umum terjadi.Sindroma Carpal Tunnel atau CTS merupakan kondisi yang terjadi akibat terjadinya jepitan saraf di pergelangan tangan. Gejala khas dari CTS adalah adanya rasa nyeri, mati rasa, kebas, dan kesemutan terutama di ibu jari, jari tengah, telunjuk, dan sebagian jari manis.

Sedangkan Fokal Distonia adalah gangguan kesehatan yang sering menimpa para gitaris klasik legendaris. Roman Viazovskiy adalah legenda Gitar Klasik yang terus berjuang mengalahkan penyakit ini dan nampaknya dari hari ke hari ia makin berhasil terbukti dari permainannya yang masih tetap luar biasa.Namun, sayangnya sudah hampir setahun sejak saya tulis artikel ini, saya tak lagi mendengar kabar kabar darinya dan jadwal konsernya pun seperti sangat sulit untuk ditelusuri.

Para pemusik sering juga mengalami masalah non-muskuloskeletal yakni sakit selain pada muskular atau otot dan skeletal atau tulang rangka. Penyakit tersebut meliputi Dermatitis Kontak. Kondisi ini kerap terjadi pada kemusik alat tiup. Nickel, cobalt, palladium, emas dan perak yang lazim terdapat pada alat tiup logam, rentan sekali mengakibatkan jamur ini terutama ketika bahan bahan tersebut berpadu dengan hembusan napas, sentuhan bibir dan air liur.

Gangguan pendengaran akibat paparan musik keras, seperti Tinitus, juga menjadi ancaman tersendiri. Tinitus tidak hanya terjadi pada Disc Jockey di diskotik. Pemusik Klasik terutama konductor yang menggunakan headset untuk waktu lebih dari satu jam dengan volume keras untuk mendapat gambaran headroom musiknya, juga sangat mungkin terserang sakit semacam ini.

Gangguan pernapasan atau pneumotoraks, juga ancaman serius, terutama pada pemain di seksi tiup dan vokalis. Peningkatan tekanan intraokular yang diakibatkan terlalu sering membaca score, juga menjadi ancaman serius, terutama bagi pemain orkestra yang dituntut memiliki kemampuan sight reading yang harus di atas rata rata pemusik non orkestra.

Penyakit refluks gastroesofageal atau yang banyak dikenal orang sebagai GERD, juga menjadi ancaman serius. Ini terjadi karena tekanan performance saat pentas bagi seorang pemusik sungguh berat. Ia harus nyaris sempurna tanpa salah. Postur, gesture dan senyumnya juga harus pas. Hal hal semacam ini memberi tekanan kejiwaan yang sungguh sangat berat.

Para pemusik, dalam hal ini para peniup trumpet, juga berisiko lebih tinggi mengalami masalah pada sistem stomatognatik, khususnya mulut dan gigi, yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan cedera permanen sehingga pemusik tersebut sampai tidak bisa bermain.

Sebetulnya, sudah ada, meski masih terbilang sedikit, konsistensi di sektor layanan kesehatan pendengaran sehubungan dengan perawatan pendengaran musisi dan penyediaan perlindungan pendengaran khusus bagi pemusik. Terutama di USA dan Eropa.
Indonesia belum ya pak? Kalem saja. Nyusul. Namun, American Academy of Audiology telah menerbitkan dokumen konsensus mengenai praktik terbaik untuk pencegahan gangguan pendengaran pada musisi. Jadi nampaknya, upaya pencegahan lebih masuk akal dibanding pengobatannya.

Ada yang lebih membuat kita mengurut dada. Memainkan alat musik tiup atau tiup kayu membuat musisi berisiko lebih besar terkena hernia inguinalis. Pemain musik tiup kayu, dalam kasus yang meski jarang terjadi, menderita kondisi yang dikenal sebagai pneumonitis hipersensitivitas,yang juga disebut sebagai paru-paru saksofon, yang disebabkan oleh infeksi Exophiala.

Hal ini diyakini dapat terjadi jika instrumen tidak dibersihkan dengan benar. Apalagi jika misalnya, dalam marching band sekolahan, alat tiup dipakai secara bergantian, dengan faktor kebersihan yng sering diabaikan.

Risiko Disc Jokey
Kemudian, berkait dengan seorang DJ atau Disc Jockey. DJ itu pemusik. Bukan operator musik. Karena DJ meramu musik dengan pemanfaatan teknologi yang terkini. Risiko bagi DJ yang bekerja di klub malam dengan musik keras termasuk gangguan pendengaran akibat kebisingan dan tinnitus.

Klub malam terus-menerus melampaui tingkat paparan kebisingan yang aman, dengan tingkat kebisingan rata-rata berkisar antara 93,2 hingga 109,7 dB. Paparan musik yang terus-menerus menciptakan disfungsi pendengaran sementara dan permanen bagi DJ profesional, dengan tingkat rata-rata sebesar 96 dB, yang berada di atas tingkat yang mewajibkan perlindungan telinga bagi industri.

Tiga perempat DJ menderita tinnitus dan berisiko mengalami tenosinovitis pada pergelangan tangan dan anggota tubuh lainnya. Tenosinovitis terjadi karena tetap berada pada posisi yang sama selama beberapa pertunjukan untuk gerakan menggaruk piringan hitam.

Gangguan kesehatan semacam ini juga sangat mungkin terkait dengan cedera regangan yang berulang. Pertunjukan yang dilakukan seorang DJ, dapat berlangsung 4–5 jam di kehidupan malam dan industri amusement perhotelan. Akibatnya terdapat potensi komplikasi dari berdiri terlalu lama yang meliputi membungkuk, varises, gangguan kardiovaskular, kompresi sendi, dan kelelahan otot. Bukan cuma DJ, Staf lain juga biasa mengalami hal ini, seperti bartender dan staf keamanan.

WHO sebagai Organisasi Kesehatan Dunia meluncurkan inisiatif membuat program “Mendengarkan Aman” sebagai bagian dari perayaan Hari Pendengaran Sedunia pada tanggal 3 Maret 2015. WHO meninjau peraturan kebisingan yang ada di berbagai tempat hiburan, tentu saja termasuk klub, bar, tempat konser, dan arena olahraga, serta merilis standar global untuk tempat dan acara mendengarkan yang aman sebagai bagian dari “Hari Dengar dan Pendengaran Sedunia” yang dicanangkan pada 2022.

Sampai di sini mungkin banyak pembaca yang kemudian merasa ngeri. Waaaah… jadi pemusik ternyata bahaya juga ya. Bisa kena sakit macam- macam. Ayo, ayo, ayo, gak usah kursus musik lagi deh. Hmmmm…. Anda konyol jika berpikir begitu. Ada beberapa alasan logis yang membuat Anda tak perlu ragu tak perlu cemas tak perlu takut terserang penyakit karena bermusik.

Yang memiliki resiko terkena berbagai masalah kesehatan itu pemusik profesional. Bukan anak Anda yang 9 tahun cuma bisa main Für Elise dengan salah- salah. Juga bukan Anda yang berpiano atau main saxophone sekedar membunyikan melodi Didi Kempot dengan salah- salah.

Bagi para professional, resiko terkena masalah kesehatan adalah sebuah risiko pekerjaan (Job Risk). Profesi apapun memiliki resiko. Dan, para professional ini sudah paham akan sesuatu yang harus “ditebus” dengan profesinya. Dengan semakin majunya teknik dunia kedokteran, sudah banyak upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh para Professional musik. Disamping juga pola hidup yang sehat tentu akan sangat mengurangi resiko masalah kesehatan.

Nah… persoalan akan muncul jika Anda menghendaki anak anda menjadi pemusik professional atau bahkan juara dunia Chopin. Sejak awal, jangan cuma paksa anak Anda latihan 8 jam sehari. Perhatikan pola hidup. Makanannya. Kebiasaan- kebiasaannya. Ingat! Mencari 100 dokter jauh lebih mudah daripada mencari 1 pemusik sejati. (*)

Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)

Article Bottom Ad