Kisah sukses seseorang kadang berangkat dari hal-hal sepele. Gwhyneth Chen misalnya. Pianis kenamaan asal Taiwan yang juga Steinway Artist ini, tak menyangka “kecelakaan” di masa kecilnya ternyata membawanya untuk mempelajari piano. Bahkan kemudian, dia menjadi satu-satunya pianis di dunia yang pernah memenangkan kompetisi piano dengan nilai hadiah paling besar. Simak bincang singkatnya di Steinway Family Stories.
Bagaimana awal Anda mengenal piano?
Sampai sebelum saya terpeleset dan jatuh di samping sebuah piano, saya tak pernah berpikir akan belajar piano. Saya ingat ketika masih duduk di taman kanak-kanak, saya berlarian kesana-kemari dan saya jatuh karena terpeleset. Badan saya membentur kursi piano, persis di samping ibu guru yang saat itu sedang duduk mengajari murid. Lalu saya bangun memperhatikan bagaimana teman saya belajar piano. Tiba-tiba saya juga ingin bisa bermain piano dan berpikir alangkah senangnya jika saya bisa membuat orang-orang senang dan bahagia mendengarkan musik. Selama masa kanak-kanak, saya menghabiskan setiap musim panas di rumah nenek dari pihak ibu saya di Heng Chun, sebuah kota indah di tepi laut di selatan Taiwan. Ketika saya berumur empat tahun, saya bersama beberapa anak menaiki gerobak sapi ke desa tetangga melihat bagaimana pelajaran piano. Saya menyadari bahwa saya mulai terpesona dengan dunia Solfegio dan ingin sekali belajar. Tapi orangtua saya tidak mampu membeli piano, sampai suatu ketika paman saya memberikan hadiah piano mainan. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya memainkan piano mainan itu. Saya belajar dengan guru di Taiwan sampai Grade 4. Tapi dengan piano mainan, itu tidak cukup. Saya memerlukan piano dengan 88 tuts.
Kapan pastinya Anda mulai belajar piano?
Tahun 1980 keluarga saya berimigrasi ke Amerika Serikat dan saya mulai belajar musik sesungguhnya. Guru saya Robert Turner, mengajarkan dasar-dasar bermain piano. Setelah belajar beberapa waktu saya diminta tampil di kompetisi lokal, tapi saya tak punya gaun dan sepatu untuk tampil. Orangtua saya belum mampu membelikannya untuk saya, gajinya habis untuk biaya hidup dan les piano saya, sampai beberapa waktu kemudian ibu memberikan saya dua gaun dan dua pasang sepatu. Dengan gaun dan sepatu itulah pada usia 12 tahun saya ikut kompetisi Piano Nasional yang diikuti 50 negara bagian yang disponsori Asosiasi Nasional Guru Musik, dan saya memenangkan kompetisi itu untuk kategori SMP. Tiga tahun kemudian saya menang lagi untuk kategori SMA.
Apa yang menjadi motivasi Anda dalam belajar piano?
Keinginan saya hanya ingin jadi pianis dan guru piano. Tapi saya sadar orangtua saya bukan orang kaya. Kami hidup berhemat. Orangtua saya bekerja sangat keras untuk biaya hidup di Amerika dan membayar les piano yang mahal. Maka saya harus belajar dan berlatih keras. Setiap hari saya berlatih 4 jam sehari. Jika liburan bisa 6 hingga 8 jam sehari. Orangtua saya memberikan apa yang tidak bisa dibeli dengan uang, yakni kekuatan bathin. Mereka mengajari saya untuk berjalan di setiap langkah saya sendiri. Dengan apa pun kecuali kemauan untuk bangkit kembali, saya belajar untuk membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ibuku selalu berkata “keinginan yang kuat mengalahkan segalanya”. Saya gunakan hadiah kompetisi untuk beli piano Steinway, dan sisanya saya berikan ke orangtua.
Tidak semua proses berjalan normal-normal saja. Anda mengalami ‘goncangan budaya’? Semacam konflik?
Ya. Kalaupun disebut konflik, mungkin perbedaan dalam cara pandang saja. Sebagaimana kehidupan anak-anak usia SMA di Amerika, saya juga menginginkan kebebasan, sementara orangtua saya membuat aturan yang ketat. Suatu malam saya melarikan diri dari rumah karena tak tahan, lari dan menangis, terduduk di depan supermarket. Saya tidak tahu berapa lama di situ, sampai seorang pria membimbing saya masuk ke mobil. Rupanya ayah saya. Kami berdiam diri di mobil sampai di rumah. Esoknya kami bicara. Sebuah kesadaran baru, lahir dari konflik bathin.
Selepas SMA Anda diterima di Julliard. Apa yang membuat Anda terkesan?
Yang jelas mimpi saya tercapai. Sejak SMP saya berangan-angan masuk Julliard. Lingkungannya, orang-orangnya, sarananya, semuanya memberi kontribusi besar bagi pengembangan diri saya. Selama di Julliard saya memenangkan Tschaikovsky International Competition di Moskow yang diselenggarakan empat tahun sekali dan diikuti 120 pianis dari seluruh dunia. Dua tahun kemudian memenangkan Kompetisi Piano Internasional Prokofieff dan satu tahun berikutnya saya memenangkan hadiah uang tunai terbesar dalam sejarah kompetisi piano, 100.000 dollar, di Ivo Pogorelich International Piano Competition saat saya berusia 23 tahun. Saya peserta termuda di kompetisi itu, dan Mr. Pogorelich sebagai penyelenggara, memuji penampilan saya. Hadiah yang saya dapatkan, saya sumbangkan semua untuk kegiatan sosial. Dari kompetisi Ivo Pogorelich inilah jalan mulai terbentang di hadapan saya. Selama beberapa tahun berikutnya saya menerima banyak permintaan konser di beberapa negara, diantarnya tampil bersama dengan Ivo Pogorelich di Swiss dan Taiwan. Benar-benar sebuah impian yang jadi kenyataan.
Anda tokoh musik terkemuka dan satu dari seratus orang Tiongkok paling sukses. Bagaimana Anda melihat semua itu?
Saya melihat itu semua sebagai sebuah apresiasi, dan saya menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Itu bukan tujuan utama saya. Tujuan saya bermusik sejak kecil adalah bagaimana orang-orang merasa senang dan bahagia dengan mendengar musik. Saya akan merasa bahagia jika orang-orang bahagia dan senang dengan musik yang saya mainkan. Bagi saya itu sudah cukup
Siapa saja yang berkontribusi bagi karier Anda?
Pertama tentu orangtua saya. Kedua, guru-guru saya, dan ketiga sahabat-sahabat saya. Mereka semua berkontribusi pada apa yang saya dapatkan hari ini. Tanpa mereka semua, saya bukan siapa-siapa. Saya sangat beruntung bisa belajar dengan guru-guru saya yang datang pada tahap yang tepat dalam kehidupan musik saya untuk membuka pintu baru bagi saya. Mereka adalah orang-orang berpengaruh, seperti Robert Turner, Eduardo Delgado, Yin Cheng-Zong, Martin Canin, Byron Janis dan Ivo Pogorelich.
Anda pernah berkata bahwa sebagai musisi, Anda paling suka menangani bagian lagu yang sulit lebih dahulu, baru kemudian bagian yang mudah. Mengapa?
Ketika seseorang membangun fondasi musik, pada saat yang sama dia juga harus mempelajari bagian-bagian yang sulit sebelum mereka berusia 18 tahun. Itu standar umum. Mungkin mereka tidak harus melakukannya, tetapi otot-otot harus memiliki ingatannya, kemudian Anda dan otot Anda tumbuh dengan itu sampai menjadi bagian dari Anda. Saya menganggap produksi suara pada piano bagaikan sejenis piano kung-fu. Postur yang benar dan distribusi otot adalah kunci piano kung-fu. Ini harus diajarkan sejak dini kepada siswa piano dan dilatih secara bertahap sehingga mereka menjadi dewasa selama bertahun-tahun. Belajar musik itu ibarat meracik jamu Cina, prosesnya sangat lama dan lambat, banyak tahapan yang harus dilalui sampai kemudian dilebur.
Bagi kebanyakan seniman, orisinalitas diawali dengan fase belajar dan, seringkali, meniru orang lain. Apakah ini juga belaku bagi Anda?
Saat Anda belajar, Anda menjadikan semuanya bagaikan milik Anda. Tetapi pada akhirnya pohon berdiri di atas akarnya sendiri. Betapapun indahnya daunnya, semuanya berasal dari akar yang sama.
Apa tantangan artistik utama saat Anda memulai sebagai seorang seniman?
Tantangannya tidak pernah berubah, yaitu menumbuhkan kekuatan untuk membuat musik yang mampu mempengaruhi emosi, perilaku pendengar, dan untuk mengaktifkan kebaikan yang melekat. Saya, pertama dan terakhir, adalah seorang musisi klasik. Tetapi ketika Anda duduk dan berlatih, terlepas dari masalah teknis, yang saya khawatirkan adalah bagaimana musik dapat menyentuh kita, apa yang dapat saya pelajari dari piano dalam hidup? Itu harus menjadi pemikiran konkret untuk semua orang. Saya percaya musik memiliki kekuatan untuk melakukan semua itu.
Anda pernah mengatakan bahwa anak-anak Taiwan yang belajar piano harus diberi jalan menuju panggung Internasional. Maksudnya apa?
Ada ledakan dan euforia belajar musik klasik di Taiwan sejak tahun 1970-an. Namun, dalam 50 tahun terakhir, pendidikan musik di Taiwan tidak mendapatkan pengembalian atas investasi mereka. Saya melakukan semua yang saya bisa untuk membimbingnya ke arah yang benar. Siswa musik di Taiwan harus memiliki lebih banyak kesempatan untuk tampil di luar sekolah mereka. Karena peluang seperti itu tidak ditawarkan di Taiwan, saya mendorong mereka untuk mengikuti kompetisi dan festival musik internasional di luar negeri. Seseorang harus memiliki eksposur ke kancah konser internasional. Mengalami apa pun secara langsung akan menghadirkan perspektif baru. Perspektif baru ini memungkinkan cakrawala musisi muda untuk berkembang. Tidak ada pengganti untuk membawa apa yang Anda pelajari di kelas, selain ke panggung konser.
Menurut Anda seberapa penting anak-anak memiliki akses ke pendidikan musik?
Anak-anak tidak boleh kehilangan pendidikan musik. Musik adalah bentuk seni tertinggi, dan satu-satunya hal yang menggunakan korteks otak motorik, visual, dan pendengaran pada saat yang bersamaan. Ini juga cara terbaik untuk melatih dan mengembangkan korpus kalosum di otak untuk koneksi otak kanan dan kiri yang kuat dan efisien. Saya berharap musik dan seni akan kembali ke banyak sekolah umum di mana mereka telah terputus untuk sementara waktu. Mudah-mudahan musik dan seni akan memberikan dorongan yang luar biasa bagi pendidikan umum kita juga
Apa yang Anda pelajari ketika Anda bertemu anak kecil dan berbicara tentang musik?
Apa yang saya lihat adalah bahwa kebanyakan anak mungkin tidak tahu banyak tentang musik klasik. Sebagian besar mereka benar-benar menyukai musik baru saat ini, musik pop dan hip hop. Mereka tahu sangat sedikit tentang Mozart, Beethoven atau Bach. Ini seperti jika seseorang tumbuh dan tidak melihat novel-novel hebat dari abad ke-18 atau abad ke-19. Di masa lalu ada banyak hal hebat yang perlu kita pelajari sebagai bagian dari seni dan sejarah kemanusiaan kita. Tantangannya adalah mereka mungkin merasa itu terlalu jauh dari zaman mereka ke zaman komposer, itu selalu menjadi tantangan.
Bisakah dijelaskan apa saja kegiatan Anda saat ini?
Selain menghabiskan berjam-jam di piano setiap hari, saya juga merawat ibu saya yang sudah lanjut usia. Saya memulai program pola makan nabati dan menghabiskan waktu senggang dengan minum kopi sambil membaca Mitologi Yunani. Saya juga melakukan berbagai latihan spiritual untuk menenangkan pikiran saya. Dari keheningan yang saya peroleh, inspirasi mengalir untuk menciptakan keindahan.
Bagaimana komentar Anda tentang Piano Steinway?
Bagi saya, tidak ada yang sebanding dengan Steinway. Ini adalah yang terbaik!
Terimakasih atas bincang-bincangnya
Terimakasih juga kesempatannya untuk saya. (*)