PIANIS, komposer, pendidik musik dan pembaharu musik rakyat Hongaria, Bela Bartok, berkata begini: “Competitions are for horses, not artists.” Selain Bartok, Gitaris John Christopher William, seorang gitaris klasik legendaris, berkata begini: “No, basically I don’t like or approve of competitions on any instrument. I don’t think music can be evaluated like a race” – dalam sebuah wawancara oleh Austin Prichard-Levy, 1 Januari 2010.
Dari dua quotes tersebut, tentu masih banyak musisi lain yang memiliki pendapat senada, bisa kita simpulkan bahwa sebagian legenda musik “membenci“ kompetisi. Alasannya senada. Bahwa seni tidak bisa atau tidak layak diadu. Sebetulnya, para tokoh dan legenda musik tersebut bukan membenci kompetisi dalam arti benci kelakuan buruk seseorang. Tidak demikian. Secara tersirat, beliau-beliau tersebut memberikan warning hal-hal yang akan terjadi dan bisa terjadi dalam sebuah kompetisi. Sisi kelam dan aspek yang tertabukan dalam kompetisi musik.
Hal pertama yang mestinya menjadi sorotan kita semua adalah satu adagium penting. Yakni bahwa musik itu diperlombakan dan bukan dipertandingkan. Musik tidak seperti cabang olah raga yang kemudian dikenal sebagai pertandingan. Sepak bola, Volley, Tennis, table Tennis, Renang, Bela diri, Tinju dan sebagainya. Musik itu diperlombakan dan dilombakan, sebagaimana seni yang lain. Lalu apa esensi utama dari perlombaan dan pertandingan?
Saya ambil contoh Tennis lapangan. Tennis itu pertandingan. Artinya, semua pasang mata yang menonton dan menyaksikan pertandingan tennis lapangan tersebut, jelas melihat jelas nyata dengan mata di kepalanya sendiri, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tugas dan fungsi wasit adalah mengatur jalannya pertandingan dan hanya memberi keputusan untuk hal-hal yang tak kasat mata. Misal, bolanya nukik persis di line. Ini Masuk atau out? Nah wasit dan hakim garis yang menentukan.
Bagaimana dengan musik? Musik itu perlombaan. Menang kalahnya tergantung dan bergantung pada keputusan dewan juri. Jadi sepenuhnya 100% subyektif. Di sinilah titik akar permasalahan muncul. Singkat kata, Anda, atau anak Anda, mempertaruhkan kredibilitas musikal Anda, dan, bisa saja sejumlah uang, pada sesuatu yang murni bergantung pada penilaian orang lain semata saja. Mungkin Anda belum pernah berpikir sejauh ini. Hal seperti ini juga menyisakan banyak problematika, yang akan sama-sama kita kupas.
EVENT KOMPETISI
Kupasan pertama adalah tentang event kompetisi. Anda semestinya mencermati terlebih dahulu. Apakah ini event berkala atau event dadakan seketika saja. Ini penting. Bukan sebagai reputasi kejuaraan. Sama Sekali bukan. Tapi lebih kepada dalam ruang lingkup apa dan seperti apa Anda atau anak Anda akan berkompetisi. Jangan sampai Anda mengira sebuah kompetisi bertaraf Internasional namun pada hari lomba hanya ada satu peserta negara asing. Itupun sudah tinggal lama misal di Bandung. Anda akan kecewa
SIAPA PENYELENGGARANYA
Apakah sebuah institusi terpercaya? Bagaimana sepak terjangnya? Ataukah hanya sekumpulan petualang musik yang karena iseng dan pingin tenar serta mengais berapa rejeki recehan mengadakan kompetisi musik. Ini penting? Sebab, banyak terjadi penyelenggara lomba yang abal-abal membuat sistem administrasi yang kacau. Bisa saja Anda sudah bayar tapi terluput didaftar. Bisa saja Anda terluput tidak dinilai. Apalagi jika sistem penilaiannya secara daring. Pakai Video. Siapa yang bisa memastikan bahwa Anda atau anak Anda akan benar-benar dinilai? Mestinya, jika ingin fair, penyelenggara membuat live broadcast video selama penilaian berlangsung. Tak peduli berapa lama. Gambar buram dikit tidak apa-apa. Jadi peserta tahu bahwa videonya benar benar dinilai. Tapi saya belum pernah tahu ada yang begini. Bahkan di tingkat kompetisi dunia sekalipun.
SIAPA JURINYA
Hal yang perlu Anda cermati adalah satu fakta bahwa seorang maha pianis belum tentu bisa menjadi Juri dengan adil dan mumpuni. Maha Pianis lulusan Amerika mungkin dia hebat, tapi apakah dia mampu menilai secara obyektif? Belum tentu. Bisa jadi dia menggunakan tolok ukur dirinya, kehebatan kemampuannya sendiri dalam menilai peserta kompetisi. Dan ini jelas sebuah bencana. Sebab juara kompetisi adalah yang terbaik dari yang daftar sebagai peserta. Sedang si maha Pianis bisa saja terobsesi standar sangat tinggi untuk menjadi yang terbaik.
BAGAIMANA SISTEM PENILAIANNYA
Bukan masalah babak seleksi. Berikut ilustrasinya. Misal, peserta 100 orang. Mungkinkah Dewan Juri fully concentrate untuk 100 peserta? Lalu diselingi istirahat. Mood dewan juri sebelum dan sesudah istirahat jelas berbeda. Beranikah Anda mengatakan ini sebuah sistem yang fair?
APA SAJA GELAR JUARA NYA
Sebuah kompetisi yang representatif, lazimnya hanya memberi gelar Juara 1,2,3, Juara Harapan 1,2. Tapi, ada juga penyelenggaraan kompetisi yang juaranya bisa banyak. Bukan saja di skala lokal melainkan juga kelas dunia. Chopin Piano Competition misaalnya, salah satu kompetisi musik paling bergengsi di dunia. Diadakan sejak 1927. Mulai 1955 diadakan tiap 5 tahun sekali. Ini seperti Nobel Price-nya Kompetisi musik, khususnya Piano. Kompetisi sekelas ini pun tidak luput dari sisi kelam. Dark Side. Intrik Politik dan semacamnya.
Kisahnya mencuat ketika Martha Argerich, pianis legendaris kecewa berat ketika binaannya, Evgeny Kissin gagal menjuarai Chopin International Piano Competition. Martha Argerich sendiri adalah juara Chopin Competition 1965. Publik dunia mulai terbuka. Bahwa ada Faktor X dalam kompetisi ini, selain aspek musikal. Disusul kemudian dengan beberapa keanehan. Misalnya, seorang Daniil Trifonov yang hanya mendapat juara 3 tahun 2010. Sekelas Daniil Trifonov yang di klaim pemain terbaik dalam membawakan Chopin Fantasie Impromptu. Juara pertamanya, Yuliana Avdeeva, tidak terdengar rimbanya dan tak banyak catatan recording-nya.
Tidak cukup sampai disitu. Tahun 2015, dunia dikejutkan dengan tampilnya Seong Jin Cho dari Korea Selatan sebagai juara Chopin Competition. Orang tidak ada yang kenal. Dan setelah itu namanya nyaris hilang ditelan bumi. Saat itu orang lebih menjagokan Charles Hammelin dari Canada sebagai Juara. Kemudian beredar desas-desus, isyu tak sedap dan bahkan paparan fakta meski jelas tak diakui rezim yang bersangkutan, bahwa ada intrik kepentingan politik tertentu. Dari negara berkekuatan besar. Mereka memberi tekanan, intimidasi dan langsung tak langsung memberi sinyal Dewan Juri agar berkompromi jika tidak ingin mendapat “kesusahan”.
Sejak itu dunia ramai dengan spekulasi dan paparan fakta tersamar tentang sisi hitam kelam Kompetisi Piano Chopin. Berikut disertakan tautan link-link yang bisa Anda ikuti. Tentu jika anda mengikuti Staccato versi digital. Bagi anda yang memilih versi majalah hardware, bisa merunut kata kuncinya:
https://www.irishtimes.com/news/world/europe/polish-put-drama-of-politics-behind-them-and-turn-again-to-chopin-1.2407542
http://chopinreview.com/pages/issue/7
Pogorelich at the Chopin: Towards a sociology of competition scandals
https://www.cairn-int.info/article-E_BIPR1_049_0137–theinternational-chopin-piano.htm
The International Chopin Piano Competition during the Cold War: When musical practice disrupts the bipolar world order
Germain Le Roch
In Bulletin de l’Institut Pierre Renouvin Volume 49, Issue 1, 2019, pages 137 to 148
The Dark Side of Piano Competitions, by Michael Johnson
Ditahun 2021, juga ada protes terhadap hasil Kompetisi Chopin yang dinilai kurang pas. Pianis Polandia-Hongaria, Piotr Anderszewski, menyuarakan kekecewaannya atas absennya pianis berusia 17 tahun dari hadiah Chopin Competition. Dalam pernyataan yang dikutip media Polandia, dia mengatakan: “Saya tidak dapat memahami bahwa musisi dengan bakat dan kepekaan Eva Gevorgyan tidak termasuk di antara para pemenang. Ini mengejutkan bagi saya,”. Ketua juri Profesor Popowa-Zydroń telah menjawab, “Nama Eva muncul dalam proposal untuk penghargaan tertentu. Namun hanya ada beberapa suara. Dia pianis yang hebat, namun kami mencari seorang ‘Chopinist’. Dia jauh dari itu. Dia tidak sepenuhnya terbentuk secara emosional, tetapi saya tidak ragu bahwa ini akan datang seiring waktu,”.
Di samping kompetisi Piano Chopin beberapa kompetisi musik juga menuai kontroversi, diantaranya.
1) 2006 Villa-Lobos International Piano Competition. Saat itu, Direkturnya, yakni Illan Rechtmann memprotes panitia penyelenggara karena terlalu ikut campur dalam menentukan ranking kandidat peserta.
2) 2011 International Tchaikovsky Competition. Keputusan Juri dituduh berat sebelah. Lebih memihak Pianis-pianis didikan Moscow untuk menjadi pemenang.
3) 2009 Van Cliburn Piano Competition. Pemberian Gold Medal menuai kontroversi dan keputusan Juri diolok olok habis-habisan. Gara-garanya adalah pemberian penghormatan pada Pianis tuna netra Noboyuki Tsujii. Khalayak “menuduh” ada motiv terselubung di balik pemberian medali tersebut.
4) 2009 Geza Anda Competition. Kejadiannya tahun 2009. Ketika seorang And Buhrle, seorang kolektor dan kurator seni mengkritik dan mempublikasikan kritiknya terhadap keputusan juri pada babak pertama. Yang menurutnya hanya meloloskan para pemusik yang cuma bisa main cepat dan main keras belaka.
Semua yang tersaji dalam tulisan ini bukanlah opini sepihak. Melainkan mengajak para pembaca untuk memakai logika dan berpikir kritis. Semua berdasarkan fakta. Jika Anda menanyakan: Apakah ada atau masih ada kompetisi musik yang fair? Tidak penting untuk menjawabnya. Karena nanti kita akan terjebak pada like and dislike semata.
Hal yang penting untuk Anda ketahui adalah, dalam artikel ini telah dinyatakan dengan tegas, point-point batasan yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk mengikuti kompetisi musik, agar tidak menjadi “korban” sesuatu yang jauh di luar ekspektasi Anda. Lebih arif dan bijak mengikuti festival, pesta musik dan/atau pentas bersama. Juga lebih masuk akal mengikuti ujian sertifikasi dengan penilaian yang sangat terukur. Namun sekali lagi, the choice is yours. (*)
Penulis: Michael Gunadi Widjaja (Pemerhati Musik)